الحمدلله, الحمدلله الذي هدان لهذا وما كنا لنهتدي لولا عن هدان الله
وأشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له
وأشهد أن محمد عبده ورسوله
وصلاة وسلام على نبين محمد و على اله وصحبه ومن وله
وقال عزوجله فى كتاب العزيز
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
قُلْإِنَّنِيهَدَانِيرَبِّيإِلَىصِرَاطٍمُّسْتَقِيمٍدِيناًقِيَماًمِّلَّةَإِبْرَاهِيمَحَنِيفاًوَمَاكَانَمِنَالْمُشْرِكِينَ
صدق الله العظيم
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah
Alhamdulillah pada malam hari ini Allah mempertemukan kita dengan tekad bersama meningkatkan kerja dan kinerja dakwah serta perjuangan kita di dalam situasi ketika pada hari hari ini, semangat perjuangan Islam di seluruh dunia sedang bergelora. Dunia Islam sedang mendapatkan sebutan rabi’ al islami musim semi Islam. Bila di negara-negara yang punya pergiliran empat musim, musim semi datangnya hanya selama 3 bulan dalam setahun yang ditandai dengan tumbuhnya cabang-cabang dan dahan-dahan baru di pohon-pohon, tumbuhnya putik-putik bunga, bermekarannya bunga-bunga dan buah-buah mulai bermunculan, maka di Indonesia keadaan bersemi seperti itu sepanjang tahun sehingga musim semi di Indonesia adalah sepanjang tahun, Allahu Akbar.
Kita dianugrahi Allah SWT sebuah wilayah dakwah yang mempunyai rabi’u da’im, musim semi yang terus menerus, bunga-bunga sepanjang tahun bermekaran, daun-daun sepanjang tahun menghijau, ranting-ranting bertumbuhan dan buah-buah ranum sepanjang tahun bisa dipetik. Kita bisa menaman pohon di bulan apapun, sehingga umat Islam Indonesia yang diamanahi Allah SWT negeri yang seindah ini, seharusnya mempunyai semangat musim semi yang terus menerus dan senantiasa tumbuh kembang serta berbuah memberikan manfaat seperti yang digambarkan oleh Al-Quran sebagai kasyajaroh thoyyibah:
…كَشَجَرةٍطَيِّبَةٍأَصْلُهَاثَابِتٌوَفَرْعُهَافِيالسَّمَاء ﴿٢٤﴾ تُؤْتِيأُكُلَهَاكُلَّحِينٍبِإِذْنِرَبِّهَا….
Mudah-mudahan karakter musim semi yang merupakan sifat alam Indonesia menjadi sifat umat Islam Indonesia yang selalu bersemi memberikan kecerahan dengan bunga-bunganya bagaikan senyuman-senyuman yang menyapa setiap orangdan juga memberikan buah-buah ranumnya yang menyegarkan pada siapapun. Hal itu pula yang seharusnya ada pada kita.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah
Dalam kurun waktu satu tahun sejak Januari 2011 di negara-negara Arab terjadi musim semi bagi gerakan Islam. Fenomena yang kita lihat tersebut merupakan fenomena yang menggembirakan dan sungguh memberikan harapan bukan hanya bagi umat Islam melainkan juga harapan bagi kemanusiaan. Mudah-mudahan musim semi Islam ini bisa mengantarkan seluruh umat manusia di muka bumi pada kedamaian dan kesejahteraan karena dengan keadilan hukumnya, kejernihan aqidahnya dan kebersihan ideologinya, diyakini umat Islam bisa mengelola kehidupan kemanusiaan menuju kedamaian dan kesejahteraan, insya Allah. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Namun kalau kita menengok ke belakang dan mengingat latar belakang sebelum terjadinya musim semi di negara Arab sesungguhnya telah ada episode yang berat sepanjang puluhan tahun yang lalu. Saat ini mungkin kita terkagum-kagum oleh negara Arab yang pertama kali menyelesaikan pemilu dengan sukses yakni Tunisia, namun hal yang tidak boleh dilupakan adalah betapa nasib umat Islam sebelumnya di negeri itu luar biasa menyedihkan di dalam dua periode pemerintahan diktator Habib Burquibah dan kemudian Zainal Abidin bin Ali yang memerintah dengan tangan besi. Gerakan Islam dan dakwah Islam dibungkam bahkan selama 23 tahun dijadikan organisasi terlarang. Selain itu ciri-ciri keislaman dikikis bahkan seandainyapun itu merupakan ciri yang tersembunyi, jika seorang pemuda kelihatan dengkulnya menghitam yang menunjukkan ia suka sholat, maka pemuda itu bisa ditangkap dan dipenjara karena diduga sebagai anggota Gerakan Islam. Bahkan ajaran Islam juga dihinakan di Tunisia sehingga sampai-sampai di kuliah syari’ah di Jami’ah Zaituniyah sengaja dibuatkan kolam renang yang diprogram oleh kampus agar jam berenangnya campur antara wanita dan laki-laki dengan pakaian yang serba minim. Kondisi seperti itulah yang menjadi latar belakangi perjuangan mereka hingga akhirnya tiba saatnya mereka mendapat kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT sesuai dengan janjinya “wa tilkal ayyamu nudawiluha bainannaas” dan hari-hari itu akan diputar gilirannya kepada manusia.
Akan tetapi tentu saja yang akan mendapat giliran hanyalah yang siaga sesuai dengan perintah Allah: وَأَعِدُّواْلَهُممَّااسْتَطَعْتُممِّنقُوَّةٍ. Hanya mereka yang melaksanakan perintah وَأَعِدُّواْitu sajalah yang siap menangkap kesempatan dan siap memetik hasil pada setiap peluang. Maka ketika datang waktunya kebebasan dan keterbukaan dalam proses demokratisasi di Tunisa yang ditandai dengan Pemilu ternyata yang telah berusaha dighaibkan, ditiadakan, dimusnahkan selama 23 tahun yakni partai Nahdhah yang berasal dari Gerakan Islam memperoleh suara hampir 50% dan sekarang akh Hamadi Jibeli menjadi Perdana Menteri di sana. Setelah 23 tahun mereka diusir dari negerinya dan menjadi pengungsi di banyak negara terutama di Eropa, begitu saatnya tiba untuk kembali maka para pimpinannya kini memetik hasil kesabaran dalam perjuangan panjang mereka.
Ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita semua, mengapa bisa tercapai keberhasilan seperti itu di Tunisia. Selanjutnya bila kita menengok negara lain yakni Mesir yang umur dakwahnya lebih tua dari Tunisia, nampak pula oleh kita bahwa dalam usia dakwah yang 84 tahun, kebebasan dakwah di sana hanya bisa dinikmati selama 20 tahun pertama. Sejak gugurnya imam Syahid, dakwah selama 64 tahun terus menerus ditindas dan dibantai serta banyak aktivisnya yang digantung dan dipenjarakan, bahkan penjara-penjara seolah menjadi langganan persinggahan para aktivis sehingga memunculkan sindrom untuk kembali dan kembali lagi ke penjara. Salah satu tokohnya pernah mengatakan kepada saya terkait dengan program bagi ikhwah yang baru keluar dari penjara, ma kidna nahuju mina sijni ilaa annufaqiraa fii dukhulihiy mawa tansaniyah, setiap kali kami keluar dari penjara yang terpikir kapan kami masuk kembali. Bahkan lebih jauh sindromnya, walaupun sudah di luar penjara, biasanya mereka mengirimkan bahan-bahan bangunan untuk memperbaiki ruangan-ruangan penjara, karena selalu berpikir sewaktu-waktu bisa masuk lagi.
Selama 64 tahun dakwah di Mesir ditindas dan para aktivisnya menjadi buron dimana-mana, walaupun hikmah rabbaniyahnya selalu ada, karena ketika di Mesir dakwah dipukul dan dibantai serta para aktivisnya dipenjarakan dan digantung ternyata justru terjadi proses penyebaran yang cepat luar biasa ke seluruh penjuru dunia. Bagaikan menepuk air di dulang yang kemudian terpercik kemana-mana, dan mungkin salah satu percikan itu sampai ke Indonesia dan percikan itu menyebar ke seluruh Nusantara sehingga di antaranya menyebabkan munculnya fenomena seperti malam ini. Fenomena yang menampilkan semangat musim semi dengan wajah-wajah yang cerah, senyum-senyum yang merekah dalam penampilan baju putih bersih, sehingga bagaikan bunga-bunga melati yang sedang bermekaran. Membangkitkan harapan kita untuk meraih kemenangan 2014 dan sebelumnya akan didahului kemenangan 2012 (di DKI Jakarta dan Kab. Bekasi) dan kemenangan 2013 (Jawa Barat), qobaqo sayni au adnaa, insya ALLAH.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah
Saya ingin menggarisbawahi, betapa umat Islam di negara-negara yang dihimpit dengan berbagai tekanan, intimidasi, pembantaian, pemenjaraan tempat aneka ragam cara keahlian menyiksa orang dilaksanakan, ketika mendapatkan peluang keterbukaan dan demokratisasi seperti misalnya di Mesir tiba-tiba memetik suara 70% (47% nya diraih oleh Hizbu Hurriyah wa ‘Adalah/ PKK). Hal yang harus menjadi pelajaran bagi kita adalah bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa kemenangan itu mereka dapatkan secara seketika setelah menerima kebebasan. Kemenangan umat Islam di Tunisia yang hampir 50% atau di Mesir 70% dengan 47% oleh PKK dan 23% oleh partai Salafiy yang sudah ta’akhwana (sebab Salafiy yang asli mengharamkan politik) merupakan indikator yang jelas bahwa selama puluhan tahun ditindas, mereka tetap bekerja dan tetap berjuang. Mereka tetap berkorban dan tetap berdakwah dalam situasi dan kondisi apapun. Boleh jadi dakwah mereka bersembunyi di ruang-ruang basement atau merayap di lorong-lorong bagaikan semut-semut yang merayap kemana-mana di seluruh wilayah yang sulit dideteksi selama puluhan tahun. Mereka tetap bekerja keras itulah ibrah yang harus kita petik, betapa saudara-saudara kita disana dengan tumpukan kesulitan yang demikian banyak, terus berjuang, terus bekerja keras, terus berkorban, terus berproduksi menghasilkan produk-produk dakwah yang bukan saja menambah jumlah junudud da’wah di negerinya melainkan juga untuk disebar ke seluruh dunia. Kerja keras mereka inilah yang harus dijadikan ibrah oleh kita.
Sementara kita, sekali lagi Alhamdulillah mendapat lahan dakwah yang selalu berada di musim semi sehingga seharusnya memiliki peluang dan kesempatan yang lebih banyak untuk kita petik, manfaatkan dan kita olah menjadi produk-produk dakwah yang bisa dinikmati oleh segenap bangsa Indonesia bahkan juga oleh segenap kemanusiaan. Sekali lagi ibrah yang harus kita ambil, betapa dengan istiqomatu da’wah(استقامة الدعوة), konsistensi dakwah yang terus menerus dalam segala situasi dan kondisi, sulit atau mudah, leluasa atau terhimpit, mereka terus bekerja dan ternyata tetap mampu membangun al wa’yul al islamiy الوعي الاسلامىtermasuk wa’yu siyasiالوعي السياسى.
Ikhwan dan akwat fillah
Bila kita kini melihat pertumbuhan wa’yu siyasi di indonesia, maka salah satu tolok ukurnya adalah Pemilu dan pada Pemilu pertama yang demokratis di Indonesia yakni tahun 1955, konstelasi politik Islam menghasilkan 45%. Di zaman Soeharto, Pemilu sekedar dekorasi demokrasi karena perolehannya sudah dijatah dan di setiap pemilu Golkar mendapatkan lebih kurang 75%, PPP dapat 22% dan PDI dapat 3%. Bahkan partai-partai politik tersebut itu tidak bisa memilih Ketuanya sendiri secara bebas kecuali atas persetujuan penguasa. Barulah di tahun 1999, dilangsungkan lagi Pemilu kedua yang demokratis atau Pemilu pertama di masa Reformasi, namun ternyata wa’yul islami di bidang politik di Indonesia terus merosot, dari 45% di tahun 1955 dan kini terakhir di pemilu 2009 tinggal 23% suara bagi partai Islam atau berbasis massa Islam dan itu pun terpecah di 4 partai. Hal itu berarti dalam kurun waktu 50 tahun lebih suara hilang yang hilang bagi partai Islam adalah sebesar 50%. Berarti kita bisa bertanya fa’aina du’at, kemana para du’at atau mungkin pertanyaan lainnya adalah wa kaifa da’wah, seperti apa sih dakwahnya sehingga tidak menghasilkan wa’yul islami dan tidak menghasilkan wa’yu siyasi islami.
Dalam kondisi ini umat Islam ada dimana-mana dan banyak yang memiliki semangat religius dan dari segi ibadah mahdah, ritual sangat fenomenal, tetapi wa’yul islami hampir tidak ada atau paling tidak selalu merosot. Oleh karena itu perlu kita telusuri apa yang salah dengan da’wah kita. Mengapa da’wah yang semarak di mimbar-mimbar di majelis-majelis taklim, di televisi di radio dari sejak dini hari sampai malam hari, tetapi wa’yul islami dan terutama wa’yu siyasi islami nya tidak terbentuk. Hal ini yang perlu kita pelajari kenapa, padahal kesemarakan majelis taklim luar biasa, semakin ke kota semakin semarak. Di Jakarta rombongan ibu-ibu yang pulang dari majelis taklim, bagaikan sebuah kafilah yang pulang dari perjalanan jauh dengan semangatnya luar biasa dan adzan berkumandang dimana-mana serta tidak pernah dilarang seperti di Turki. Adzan dalam bahasa Arab di Turki pernah dilarang dari awal berkuasanya Kemal At Taturk 1923 sampai tahun 1955 jadi sekitar 30 tahun lebih adzan dalam berbahasa arab dilarang. Bahkan di tahun 80an akhir, saya sempat melihat fenomena Islam yang masih sangat terbelakang di Turki. Masjid hanya diisi oleh orang tua dan kalau baca kitab tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, misalnya baca kitab Bukhari Muslim ya apa adanya bahasa Arab, tidak peduli orang mengerti atau tidak.
Kita tidak pernah merasakan seperti itu karena pesantren-pesantren dengan taklimnya, madaris ma’ahid dengan pendidikannya memiliki keleluasaan berkembang, tetapi sayangnya bila dilihat dari wa’yul islaminya kok malah merosot. Hal tersebutlah yang harus kita evaluasi dan kita bertanggung jawab untuk bersama-sama memperbaiki. Kita harus dapat memanfaatkan semangat religius yang bagus di Indonesia ini. Masyarakat yang rabi’ yang selalu berada di musim semi ini harus kita manfaatkan untuk mempercepat tumbuhnya wa’yu siyasi al islami agar jangan sampai umat Islam dari sisi politik bagaikan komoditi non migas. Seorang tokoh agama misalnya mengatakan saya punya pengikut 2 juta, 3 juta atau Ormas Islam mengatakan saya punya anggota 7 atau 10 juta lalu ditawarkan ke partai-partai untuk melakukan transaksi uang terkait dengan dukungan suara yang bisa diberikannya. Kondisi tersebut menandakan wa’yu siyasi al islami yang terus merosot. Oleh karena itu Pilkada dan Pemilu salah satu manfaatnya adalah sebagai tolok ukur untuk dapat mengevaluasi sejauh mana kita berhasil membangkitkan wa’yu siyasi al islami sehingga suara umat Islam untuk Islam dan bukan untuk yang lain. Jika wa’yu siyasi al islami itu tumbuh terus maka partai-partai Islam atau lembaga-lembaga perjuangan Islam akan mempunyai legitimasi yang tinggi dalam berjuang di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak dianggap partai emperan yang marginal yang sekedar menjadi hiasan demokrasi yakni bahwa umat Islam boleh berpartai. Sebaliknya akan betul-betul menjadi partai yang dominan dan menentukan perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia karena sudah selayaknyalah umat Islam yang mayoritas ini yang paling menentukan garis kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharusnya kitalah yang paling berpeluang melaksanakan konsep rahmatan lil ‘alamin, sehingga kasih sayangnya menyentuh seluruh komponen bangsa, membahagiakan dan mensejahterakan seluruh komponen bangsa. Hal ini harus dijadikan bahan evaluasi oleh kita secara terus menerus.
Ikhwan dan akhwat fillah
Tadi sudah saya sebutkan bahwa contoh di negara-negara baik di Libya, Mesir, Tunisia, Yaman dan negara-negara yang selama ini kelihatan terhimpit ternyata wa’yu siyasi al islaminya luar biasa, sehingga ketika peluang terbuka, segera saja umat Islam mengekspresikan pandangan politiknya dan langsung menyalurkannya kepada saluran Islam. Sementara di Indonesia, suara umat Islam menyebar, yaminan wa syimalan, ke kiri dan ke kanan, ada yang ke partai kiri atau ke partai kanan bahkan ada yang ke partai kirinya kanan dan ke partai kanannya kiri. Begitu juga sebagian memberikan suaranya ke ke partai kirinya kiri ke partai kanannya kanan sehingga semakin jauh dari partai-partai Islam.
Kondisi tersebut harus kita perbaiki dari sisi perjuangan politik kita, sebab kalau tidak kita evaluasi maka umat Islam masih akan selalu marginal di politik, padahal as siyasah tata’alaq bis siyadah, politik itu berhubungan langsung dengan kedaulatan “la siyadata bi la siyasah”, tidak ada kedaulatan tanpa adanya otoritas atau tanpa politik. Hal inilah yang harus kita evaluasi sejak hari ini sampai hari Ahad pada Rapat Kerja Nasional. Kita harus lebih menekuni ibrah keberhasilan mereka yang bukan hanya bisa mempertahankan wa’yu siyasi bahkan hebatnya justru mampu menumbuhkannya di saat-saat sulit, berarti mereka selama kondisi-kondisi sulit itu tetap istiqomah.
Al-quran banyak sekali mengingatkan agar kita istiqomah “fastaqim kama umirta wa man taba ma’a wa laa tathghau innahu kana bima ta’maluna bashir”, istiqomahlah sebagaimana diperintahkan kepadaku dan orang-orang yang bertaubat bersama-sama kami, walaa tathghau, jangan melampaui batas, karena kalau melampaui batas berarti tidak istiqomah. Thogho berarti melampaui batas dan berarti tidak akan istiqomah. Di dalam ayat lain Allahjuga berfirman, “wa anna hadza shirati mustaqiman fattabi’u”, bahwa ini jalanku yang lurus ikutilah, “wa laa tattabi’u subula fatafarraqu bikum an sabilih”, dan jangan ikuti jalan-jalan yang begitu banyak jalan-jalan yang lain, “ fatafarriqu bikum an sabilih”, kalian akan bercerai berai dari jalannya dari jalan Allah SWT, dzalikum washokum bihi la’allakum tattaqun , demikianlah Allah SWT memberikan wasiat kepada kalian agar kalian tetap bertaqwa. Bahkan seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW dengan mengatakan: “ Ya Rasulullah berilah saya nasihat yang setelah ini saya tidak akan meminta nasihat lagi maka nasihat yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat itu adalah qul amantu billah tsummastaqim, katakanlah berimanlah kepada Allah dan beristiqomahlah.
Konsistensi ini tentu saja bukan sesuatu yang statis karena istiqomah itu tidak identik dengan statis melainkan dinamis jadi bisa bertambah atau berkurang itu dinamis sehingga kalau tidak dijaga atau diwaspadai tahu-tahu kita sudah melenceng, mungkin akibat kesulitan hidup mungkin pula justru akibat kesenangan hidup. Kita mungkin melenceng karena jabatan atau kekayaan atau sebaliknya melenceng karena tidak punya jabatan dan kekayaan. Oleh karena itu sebagai kader dakwah kita harus mewaspadai keistiqomahan kita dalam segala situasi baik ketika kita duduk sebagai anggota DPR, DPRD, sebagai walikota, Gubernur atau Bupati, karena hanya dengan keistiqomahan itulah kita akan mampu menjaga kontinuitas dakwah
Ikhwan dan akhwat fillah
Kedua, ibrah yang kita dapatkan dari perjuangan saudara-saudara kita di negara-negara yang mengalami kesulitan yang dahsyat itu adalah tetap memiliki orientasi yang jelas dalam segala langkah perjuangannya. Padahal biasanya bila dalam kondisi sulit tehimpit dan terjepit seseorang akan kehilangan orientasi atau mengalami disorientasi yakni tidak tahu mau kemana dan bahkan tidak mengetahui pula di mana saat ini berada karena begitu bingungnya. Sebaliknya disorientasi juga bisa terjadi pada saat seseorang mengalami banjir kemenangan keberhasilan dan kesenangan padahal memiliki orientasi yang jelas dalam setiap kerja merupakan syarat utama sebagaimana firman Allah SWT, wakulli wijhatun huwa mualliha, setiap orang harus punya wijhah atau orientasi yang jelas tentang arah mana yang akan dituju olehnya. Kalau sudah jelas orientasinya barulah kemudian bisa berlari, fastabiqul khairat, karena orang yang berlari tanpa wijhah, orientasi yang jelas sama saja dengan orang yang berlomba lari namun tidak tahu startnya dari mana dan tidak tahu pula akan berakhir di garis finish yang mana.
Fenomena kehidupan umat Islam di Indonesia saat ini menunjukkan gejala disorientasi seperti itu karena umat Islam di Indonesia sebetulnya sangat aktif bergerak di segala sektor kehidupan hanya sayangnya sering kali tidak mengetahui dengan jelas start awal berlarinya dari mana dan garis finishnya di mana. Misalnya terkait perjalanan antara Bandung – Jakarta, boleh jadi ada yang merasa startnya itu ada di Bandung, ada juga yang merasa nanti startnya di Cimahi, tetapi sampai di Cimahi bertemu dengan orang yang merasa bahwa garis finishnya di Cimahi sehingga tidak perlu berjalan lagi. Sehingga boleh jadi sepanjang perjalanan ada banyak garis finish, ada yang merasa garis finishnya di Cianjur, ada yang berhenti di Bogor dan ada pula yang di Puncak. Umat Islam yang disorientasi betapapun nampaknya bekerja keras namun ternyata produktifitasnya rendah. Hal ini yang harus digarisbawahi bahwa orientasi kerja yang jelas akan sangat menentukan produktifitas. Alhamdulillah umat Islam di Indonesia ini sudah aktif tinggal dibenahi orientasinya misalnya orinetasi ekonominya apa, orientasi pendidikannya apa, orientasi kerja tarbiyah apa, kerja siyasahnya apa, kerja tsaqofahnya apa kemudian bagaiman menyinergikannya dan capaian-capaian bersama apa yang mau diraih sebagai satu umat.
Kita sering kali mendengar bahwa capaian itu hasilnya lumayan atau ungkapan ‘lumayanan, segini juga udah alhamdulillah’. Masalahnya adalah istilah lumayan itu tidak jelas ukurannya jadi ukuran keberhasilannya tidak ada dan hal itu disebabkan oleh adanya disorientasi. Jadi sekali lagi wijhah itu sangat penting. Oleh karena itu Allah pun menegaskan dalam ayat lain (Q.S 30:30), fa aqim wajhaka lid diini hanifa, maka hadapkanlah orientasi hidupmu kepada dien yang hanif ini. Bahkan dalam sholatpun kita selalu memproklamirkan orientasi kita, inni wajhatu wajhiya lilladzi fatharos samawati wal ardh, sebagaimana surat al-An’am ayat 161, 162, 163 yang tadi saya bacakan di pembukaan. Hal itu juga menunjukkan betapa orientasi itu penting “qul innani hadani rabbi ilaa shiratim mustaqim diinan qiyyaman millata ibrahima hanifa wa maa kana minal musyrikin”, “qul inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa ma mati lillahi rabbil ‘alamin laa syarikalahu wa bidzalika umirtu wa ana awwalul muslimin”. Bukannya berkata, saya nanti saja lah belakangan melainkan “wa ana awwalul muslimin” . Kalimat awwalul muslimin tentu saja bukan diartikan bahwa sayalah yang pertama masuk Islam melainkan menandaskan keinginan Allah agar kita mempunyai jiwa-jiwa kepeloporan, wa ana awwalul muslimin, bahwa akulah pelopornya umat Islam seperti itu
Jika semangat penekanan orientasinya jelas seperti itu, insya Allah kemenangan-kemenangan yang tadi saya sebutkan bahwa jaraknya sudah qoba qauna saini aw adna itu , insya Allah tidak akan diberikan oleh Allah kepada yang lain. Oleh karena itu dalam menyusun rencana kerja pertama harus mencerminkan keistiqomahan dan yang kedua orientasi yang jelas. Setiap rencana kerja mempunyai orientasi yang jelas, mau apa sampai dimana dan untuk apa. Jangan belum-belum sudah mengatakan, segini juga Alhamdulillah atau kata orang Sunda, sekie ge uyuhan, jadi kalau digawe uyuhan. Maka saya tekankan sekali lagi kepada kita semua termasuk kepada saya, jangan sampai kehilangan orientasi.
Ikhwan dan akhwat fillah
Ketiga, pelajaran lainnya yang kita dapat dari mereka yang sudah memberikan contoh gemilang keberhasilan dakwahnya adalah selalu mempunyai sikap tawazun (توازن), selalu seimbang. Ketawazunan atau keseimbangan sangat penting karena merupakan soko gurunya fitrah sebagaimana Allah berfirman (Q.S Ar Rahman: 7-9), was sama`a wa rafa’a wa wadho’al mizan, Allah menciptakan langit dengan meletakkan neraca keseimbangannya sehingga matahari dan bintang berjalan sesuai dengan porosnya masing-masing secara seimbang. Bahkan Allah memperingatkan dalam ayat berikutnya, alla tathghau mizan, jangan menabrak keseimbangan, jangan melampaui dan merusak keseimbangan itu, baik keseimbangan antara dakwah dengan ekonomi, keseimbangan antara aktivitas sosial kita dengan aktivitas dakwah dan aktivitas rumah tangga yang menyangkut pula hubungan dengan istri dan anak, hubungan dengan mertua dan lain-lain yang kesemuanya harus dijaga keseimbangannya “alla tathghau fil mizan”
Bahkan untuk ketiga kalinya, Allah SWT menekankan, wa aqimul wajna bil qisthi wa laa tukhtsirul mizan (dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan benar) artinya jangan keseimbangan yang semu atau palsu. Keseimbangan itu jangan dipalsukan dan bagi manusia ukuran keseimbangannya ada di hati yang sebetulnya sensitif terhadap perubahan-perubahan keseimbangan. Dengan adanya keseimbangan maka kita menjadi stabil dan bisa melaksanakan perintah Allah untuk menjadi ummatan wasathan. Tidak mungkin kita menjadi ummatan wasathan kalau tidak mempunyai keseimbangan dalam hidup, karena bila tidak wasathan atau tidak seimbang berarti kita cenderung ekstrim ke kanan atau ekstrim ke kiri atau bahkan mungkin lebih ekstrim lagi yakni kanannya kanan atau kirinya kiri. Oleh karena itu tawazun harus dijaga dalam segala konteks kehidupan.
Ikhwan dan akhwat fillah
Islam adalah konsep yang syamil, integral, menyeluruh, oleh karena itu dakwah kita juga adalah dakwah yang syamil. Perlu disadari oleh kita bahwa syumuliatud dakwah itu masih jauh dan belum tercapai di negeri kita, akan tetapi perolehan-perolehan dakwah kita dalam menuju syumuliyatud dakwah harus tetap dijaga keseimbangan antar komponen dakwahnya agar terjadi takamuliyah. Bila muazanah antara komponen dakwah selalu terjaga perannya maka nanti akan saling melengkapi yatakamal ba’duha ba’dh. Keseimbangan adalah sesuatu yang dinamis, oleh karenanya keseimbangan yang kita capai malam ini besokpun harus segera dievaluasi apakah besok kita masih tetap dapat tawazun karena ada faktor-faktor lain yang melakukan penetrasi ke dalam kehidupan kita. Oleh karena tawazun adalah sesuatu yang dinamis maka harus terus menerus kita evaluasi dan kita jaga baik secara pribadi maupun secara jama’i. Dengan keseimbangan kita tidak gampang ditarik ke kiri atau ke kanan dan kita akan betul-betul menjadi ummatan wasatha.
Ikhwan dan akhwat fillah
Keempat, istimrariyah. Bila kita seimbang maka keberlanjutan dakwah ini akan terjamin. Kontinuitas dakwah bisa kita jaga karena kita berjalan secara seimbang, la ifrath wa laa tafrith laa ghuluw wa laa tasahul. Kata orang Jawa Barat sendeger tengah yaitu ummatan wasathan. Hubungan antara tawazun yang menghasilkan wasathiyah dan kemudian istimroriyah dijelaskan oleh dua hadits Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda khairul umur awsatuha sebaik-baik perkara adalah yang wasath, pertengahan atau moderat. Selain itu Rasululullah SAW juga bersabda khairul a’mal adwamuha sebaik-baik amal adalah yang kontinyu walaupun sedikit, sehingga jangan sekaligus banyak tetapi kemudian kehabisan tenaga dan tidak bisa bekerja lagi. Jadi antara awsatuha dan adwamuha itu ada hubungannya karena kita tidak mungkin bisa adwam, kontinyu kalau tidak awsath. Wasathiyah yang dihasilkan dari tawazun iakan menghasilkan istimroriyah atau kontinyuitas
Mesir telah memberi ibrah kepada kita bagaimana mereka selama 64 tahun ditindas namun selama itu pula tetap istiqamah dan selama itu juga tidak kehilangan orientasi. Mereka tidak pernah mengalami disorientasi dan selalu menjaga keseimbangan agar mereka terus kontinyu bekerja.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah
Untuk menjaga kontinuitas terus berkesinambungan diperlukan faktor yang kelima yaitu taurits. Harus ada khutuwat tauritsiyah, langkah-langkah pewarisan, sehingga program-program rabthul khas tajnid atau kasbil afradh harus terus menerus digulirkan dalam rangka menumbuhkan para pewaris dakwah. Langkah-langkah pewarisan harus terus berlanjut, selain untuk memenuhi kebutuhan tantangan di lapangan yang semakin banyak membutuhkan SDM adalah juga karena SDM memang merupakan aset utama dan pertama kita. Oleh karena itu kita harus memperbanyak warasatul anbiya wal mursalin yaitu para du’at. Khutuwat tauritsiyah ini harus terus dilakukan agar dakwah kita produktif dan berkelanjutan.
Ikhwan dan akhwat fillah
Dalam perjalanan dakwah kita sekarang ini, kita sudah bukan hanya dituntut dengan tanggung jawab nasional di dalam negeri kita saja, melainkan sudah menjadi tumpuan banyak orang baik di dalam maupun di luar negeri. PKS sering disebut sebagai partai harapan atau partai masa depan, gelar itu memang sedikit menghibur walaupun kadang-kadang perolehan Pemilu dan Pilkada kita sedikit. Hanya saja pertanyaan yang lebih penting adalah apakah benar kita sudah memenuhi harapan orang-orang?. Seperti pertanyaan yang muncul di Jawa Barat katanya PKS teh kahartos tapi nte acan karaos. PKS belum terasakan oleh mereka, artinya belum memenuhi harapan mereka.
Kembali ke persoalan tanggung jawab kita yang bukan hanya dalam skala nasional, melainkan secara regional pun kita dituntut untuk memikul tanggung jawab di beberapa sektor yakni di sektor tarbiyah, sektor thulaby, sektor akhwat, sektor takhtith dan sektor siyasi bahkan wakil penanggung jawab manajemennya dari kita juga. Sudah sejak dua tahun ini kita dituntut memikul tanggung jawab internasional dalam pergaulan ‘amal islami al alami dan sekarang kita juga diminta mengirim kader-kader kita untuk memikul tanggung jawab internasional ini di banyak sektor. Sudah tentu mobilitas vertikal ini meninggalkan kekosongan-kekosongan yang harus segera diisi oleh kader-kader dari produk khuthuwat tauritsiyah untuk mengisi kekosongan tersebut.
Maka, pertama, khuthuwat tauritsiyah harus dilakukan karena adanya mobilitas vertikal yang menimbulkan kekosongan. Kedua, khuthuwat tauritsiyah harus dilakukan bukan hanya karena mobillitas vertikal saja, melainkan juga karena kondisi fitrah setiap orang. Generasi tua, generasi pertama sudah mulai menua dan berambut putih sehingga sudah tidak bisa menjadi andalan lagi. Munculnya indikator-indikator penuaan dari generasi pertama menunjukkan bahwa harus segera disiapkan gantinya. Jangan menunggu mereka lumpuh baru digantikan sebab kalau menunggu lumpuh, mereka tidak bisa menikmati untuk memandangi perkembangan dakwah. Jadi tuntutan fitrah juga sudah semakin mendesak adanya khuthuwat tauritsiyah selain adanya tuntutan tanggung jawab mobilitas vertikal yang luar biasa. Kita dituntut tanggung jawab yang lebih karena dianggap salah satu negara yang mengalami musim semi lebih awal, bahkan musim seminya tidak pernah berhenti sehingga tentu saja dituntut agar kontribusinya lebih besar dan tuntutan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga harus kita jawab dan harus kita penuhi dengan produktivitas dalam khuthuwat tauritsiyah kita.
Kita harus mampu menyiapkan generasi muda pelanjut, fidyatun amanu bi rabbihim wa zidnahum huda wa rabathna ‘ala qulubihim idz qomu fa qolu rabbuna rabbus samawati wal ardh lan nad’uwa min dunihi ilahan laqod qulna idzan syathotho, pemuda yang beriman tetapi tidak sekedar beriman melainkan wa zidnahum huda, melainkan pemuda yang tahu jalan perjuangan yang akan ditempuhnya dan mempunyai tekad wa rabathna ‘ala qulubihim, terus berani mendeklarasikan dan memproklamasikan dirinya, idz qomu fa qolu rabbuna rabbus samawati wal ardhi lan nad’uan min dunihi ilahan laqod qulna idzan syathotho. Jika secara terus menerus fidyatul huda sebagai generasi penerus diproduksi oleh ikhwan dan akhwat di seluruh penjuru Indonesia ini bahkan oleh perwakilan-perwakilan di luar negeri, insya Allah dakwah di Indonesia ini bukan hanya bisa berkontribusi bagi kebajikan nasional melainkan juga bagi kebajikan regional dan internasional sehingga akan dinikmati oleh kemanusiaan, insya Allah.
Insya Allah dalam Rakornas ini khuthuwat tauritsiyah termasuk yang harus dievaluasi secara tajam yakni sejauh mana efektifitas kita melahirkan generasi fidyatun huda. Mudah-mudahan kita semuanya mendapatkan taufiq,hidayah,riayah dan inayah dari Allah SWT sehingga amal dakwah kita diterima sebagai amal sholeh di sisi Allah dan pahalanya akan kita dapatkan fi mizanin hasanatin yaumal qiyamah, amin ya Rabbal ‘alamin, aqulu qauli hadza wastaghfirullahi walakum. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh