PERAN DOMESTIK PUBLIK PEREMPUAN
DALAM TINJAUAN SIRAH NABAWIYYAH[1]
Oleh: Nina Nurrohmah, S.sos.I[2]
PENDAHULUAN
Kajian tentang perempuan akhir-akhir ini mendapat porsi yang cukup menggembirakan, ini terbukti dari banyaknya buku yg ditulis seputar perempuan, bermunculannya lembaga-lembaga yang konsern terhadap perempuan, sampai pada munculnya fenomena penafsiran ulang terhadap tradisi/kultur serta pemahaman teologis yang yang dianut masyarakat[3]. Dalam arus ini muncul dua kecenderungan pola fikir yang mengkutub. Kelompok tradisioanal yang berusaha mempertahankan orisinalitas atau mungkin lebih tepatnya tradisi pemahamn Islam. Di sisi yang lain muncul arus yang dimotori oleh para aktivis perempuan yang merasa “dirugikan” dengan realitas sosial kultural masyarakat serta realitas teologis yg dianut masyarakat terutama yg terkait dengan isu perempuan.
Kaum feminis[4] menilai adanya ketidakadilan terhadap perempuan yang ditenggarai muncul akibat adanya konsep “pembakuan peran perempuan”, yang dalam banyak kajiannya hal ini dituduhkan kepada kaum tradisionalis yang enggan melakukan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan. Dalam konteks yang lebih jauh Islam dituduh sebagai penyebab adanya keterkungkungan perempuan[5]. Diantara pembahasan yang cukup sering diangkat dalam diskursus ini adalah Peran Publik dan Domestic Kaum Perempuan .
Benarkah Islam membatasi peran perempuan hanya diwilayah domestik? Adakah nash Al-Qur’an dan hadis yang memberi peluang perempuan berkontribusi di wilayah publik? Bagaimana kaum perempuan di zaman Rosulullah SAW mengekspresikan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya?
Dalam makalah ini penulis berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan alur pembahasan sebagai berikut :
Pada bagian pertama, penulis mencoba membahas sekilas gerakan feminisme yang menjadi tempat munculnya asumsi yang menjadi pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Pada bagian kedua, untuk memahami peran perempuan dalam tinjauan Islam, penulis merujuk pada nash baik Al-Qur’an ataupun hadits. Pada bagian ketiga, penulis memaparkan peran sahabiyat dimasa Rosulullah SAW, sebagai penjabaran dan gambaran utuh tentang pola implementasi nash.
Semoga makalah ini dapat memberi sedikit pemahaman tentang bagaimana Islam memposisikan serta memfungsikan perempuan pada tempat yang seharusnya.
FEMINIS DAN PERAN PEREMPUAN
Isu feminism pertama kali muncul didunia Barat[6] sebagai bentuk perlawanan kaum perempuan atas hegemoni kaum lelaki dan diskriminasi serta marginalisasi yang menempatkan kaum perempuan sebagai makhluk kelas dua.Bahkan jauh sebelumnya sampai abad ke-17, para agamawan nashrani berselisih pendapat tentang status perempuan, setankah dia atau manusia?[7]
Pada perkembangannya isu ini kemudian menjalar dan diikuti oleh beberapa Negara berkembang.[8] Kekuasaan dan kekuatan barat membuat penduduk di negara berkembang tak kuasa untuk tidak mencontek semua yang berbau barat. Kecenderungan “meniru” ini dalam ilmu sosial merupakan kelaziman pada kebudayaan yang lemah ketika berhadapan dengan kebudayaan yang kuat dan dominan. Konsep meniru ini tidak sepenuhnya buruk, tapi meniru bagi tatanan budaya yang memiliki pandangan hidup dan konsep-konsep keilmuannya sendiri harus melalui penyaringan konseptual.
Feminism sebagai isu yang diimpor dari barat, meskipun telah hijrah ketimur sulit untuk melepaskan tema-tema yang barat sentries, yang dalam pandangan penulis sering kali tidak connect dengan kebutuhan lokal. Menurut kaum feminis , ada tiga penyebab utama yang melatarbelakangi gerakan ini; sosio cultural, politik dan agama.
Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua, sebatas pemuas dan pelayan nafsu lelaki, pada akhirnya tidak memberi ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan potensi yang dimilikinya, ini adalah sedikit gambaran kultur masyarakat yang memicu gerakan feminism[9].
Secara politis tak jarang kebijakan dan hukum yang dihasilkan penguasa tak berpihak pada perempuan, bahkan justru melanggengkan diskriminasi atas perempuan. Peniadaan hak untuk ikut dalam pemilu di beberapa negara, membatasi akses perempuan atas ilmu pengetahuan dan pendidikan, bahkan munculnya perdebatan boleh tidaknya perempuan menjadi kepala negara, sarat dengan muatan politis.[10]
Adanya perdebatan status perempuan dikalangan teolog Kristen, menjadikankan agama sebagai elemen yang terlibat dalam pembentukan struktur dominasi laki-laki terhadap perempuan.[11]
Nawal Al-saadawy berpendapat bahwa pembatasan peran perempuan lebih disebabkan landasan kultural dan hegemoni politik yang dibungkus dengan nilai agama.[12]
Gerakan feminis yang pada awalnya lebih condong sebagai gerakan perlawanan sosial, kemudian menjadikan isu-isu teologis perempuan sebagai penyebab utama pembakuan peran domestik perempuan. Maka setiap pembahasan mengenai perempuan dan gender, selalu diiringi dengan asumsi dan prasangka kaum intelektual yang menjadikan agama sebagai faktor signifikan atas munculnya diskriminasi gender[13].
Nursaid dalam buku Posisi Perempuan dalam Hukum Indonesia menganggap agama sebagai penyebab sekaligus legitimasi atas diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal ini diamini oleh aktifis gender Lies Marcoes-Natsir yang memposisikan Islam tak lebih dari sekumpulan penafsiran sarat kepentingan dan maksud yang melahirkan system yang tidak ramah perempuan.
Sejumlah fakta dijadikan pembuktian asumsi ini, mulai dari karya tafsir ulama klasik yang bias gender,[14] realitas perempuan di beberapa Negara yang menjadikan Islam sebagai hukum dan undang-undang, [15] sampai pada anggapan maskulinitas Tuhan dan Al Al-Qur’an .[16]
Asumsi ini menggiring mereka pada sikap pesimis terhadap agama, sehingga muncul anggapan bahwa kompleksitas permasalahan perempuan (ekonomi, sosial budaya, politik dan agama) membuat implementasi hukum Islam menjadi mustahil dan jauh dari keadilan.[17] Di titik ekstrim kampanye untuk memisahkan agama dari kehidupan perempuan sebagai langkah menuju peradaban perempuan yang bebas merdeka mulai dikumandangkan. [18]
Dalam implementasinya, isu ini sulit mendapatkan hati di masyarakat, sehingga muncul aliran baru yang lebih “ramah agama”, yang berusaha untuk mencari dalil pembenaran dengan melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat bias gender untuk menghasilkan teologi feminis. [19]
Tapi benarkah Islam tidak ramah perempuan dan membatasi perannya hanya diwilayah domestik ?
PERAN PEREMPUAN DALAM TINJAUAN AL-QUR’AN DAN HADITS
Islam adalah agama yang diperuntukan bagi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Syariat yang Allah turunkan untuk laki-laki adalah juga syariat yang diturunkan pada kaum perempuan, apa yang diwajibkan pada kaum laki-laki adalah juga yang diwajibkan pada kaum perempuan, apa yang diharamkan bagi laki-laki adalah juga yang diharamkan bagi kaum perempuan, dan begitu seterusnya. Kalaupun ada pengecualian maka jumlahnya sangat sedikit dan itu lebih terkait dengan kadar dan kekhasan masing-masing. Syariat yang terkait dengan konsekuensi keislaman (Rukun Islam) dan keimanan (Rukun Iman) seluruhnya hadir sebagi syariat bagi manusia tanpa membedakan jenis kelamin.[20]
Sejak perempuan pertama diciptakan (hawwa), seluruh ayat yang mengisahkan adam dan hawwa, selalu menekankan kesetaraan keduanya dengan menggunakan kata ganti huma (kata ganti untuk 2 orang) tidak ada satu ayat pun yang mempersalahkan hawwa atas diturunkannya mereka kebumi, secara jelas ditegaskan bahwa yang menjadi penyebabnya adalah syetan (QS.2:36), sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menimpakan dendam kepada kaum perempuan, sebagaimana yang dianut kaum kristiany. [21]
Keunggulan dalam Islam tidak terkait dengan status gender seseorang (QS. 49:13, 3:195, 4:124, 33:35). Al Al-Qur’an tidak menafikan adanya perempuan luar biasa dalam sejarah, bahkan mengukirnya dalam rangkaian ayat yang akan terus dibaca zaman, baik sebagai ibu yang mampu menghadirkan anak soleh bahkan nabi (QS.19:16-36, 28:10-13) ataupun sebagai pemimpin Negara yang adil (ratu saba).
Kewajiban untuk menghadirkan, menjaga dan mengarahkan masyarakat menuju tatanan yang menjunjung tinggi nilai kebenaran (peran politik), tidak hanya dibebankan pada kaum laki-laki. Perempuan sebagai bagian dari masyarakat pun diwajibkan berkontribusi di wilayah ini (QS. 9:71). Padahal kewajiban ini bukan sederhana, tapi merupakan titah yang membutuhkan kekuatan dan pengorbanan waktu, harta bahkan jiwa. Membatasi perempuan hanya diwilayah domestik, sama saja dengan meniadakan kesempatan bagi perempuan untuk merealisasikan agama yang dianutnya secara utuh (QS. 2:208).
Dalam sohih bukhari ada 300 nash hadits (jumlah yang cukup) yang menjelaskan secara gamblang kontribusi dan keterlibatan kaum perempuan dimasa nabi dalam berbagai segi kehidupan, yang akan diurai oleh penulis dalam pembahasan berikutnya.[22]
PERAN SAHABIYAT DIMASA ROSULULLAH SAW
Dalam pembahasan ini penulis hanya akan memfokuskan pada peran public sahabiyat, bukan dalam konteks mengecilkan peran domestik , tapi berdasar pada realita bahwa peran ini yang lebih sering dipertanyakan oleh kaum feminis.
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam buku Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah[23] menguraikan dengan jelas kehidupan sahabiyat dalam berbagai sisi kehidupan dengan mengacu kepada Al Al-Qur’an dan Hadits Sahih Bukhary dan Muslim. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa tidak ada satu sisi kehidupan pun yang sahabiyat tidak ikut serta didalamnya, baik sebelum ayat hijab diturunkan ataupun sesudahnya.[24]
Untuk mempermudah penjabarannya, penulis mencoba untuk mengklasifikasikan aktifitas sahabiyat dalam 5 bidang kehidupan :
1. Sosial, hal ini meliputi aktifitas shohabiyat dalam bidang sosial kemasyarakatan, refleksi dari keyakinan bahwa setiap diri adalah bagian dari lingkungan.
2. Pendidikan dan ilmu pengetahuan, pada bagian ini dijelaskan tentang semangat dan kehausan ilmiah, sahabiyat yang meriwayatkan hadits dan shahabiyat yang menjadi rujukan para sahabat setelah nabi wafat
3. Seni dan budaya,
4. Ekonomi, yang meliputi penjelasan tentang aktifitas ekonomi sahabiyat
5. Politik dan kenegaraan, meliputi pembahasan tentang dukungan politik, diplomasi politik dan keikutsertaan dalam aktifitas bela Negara (perang)
1.Peran sosial kemasyarakatan
Dibawah pembinaan dan didikan Rosulullah SAW, sahabiyat menjalani kehidupan sosial sebagai manusia yang merdeka dan penuh kehendak. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka dari hal yang ma’ruf kecuali larangan yang bersumber dari wahyu baik Al-Qur’an maupun hadits. Hal ini mereka lakukan baik sebelum ayat hijab turun ataupun sesudahnya. [25]
a.Saling bertegur sapa mengucapakan salam
Imam Bukhori menukil hadits riwayat Aisyah ra bahwa Rosulullah SAW menyampaikan kepadanya salam dari Jibril as.[26] Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa Rosulullah SAW ketika melewati rumah Ummu Sulaim, selalu menyempatkan diri untuk singgah dan mengucapkan salam.[27] Dua riwayat ini menggambarkan bahwa tidak ada halangan bagi perempuan dan laki-laki untuk saling bertegur sapa mengucap salam. Dan hal ini menunjukan bahwa masyarakat yang dibangun Rosulullah SAW bukan masyarakat tertutup yang memangkas interaksi dalam hal-hal yang dibutuhkan sebagaimana yang terjadi sekarang di beberapa negeri muslim.
b. Hadir dalam perhelatan sosial
Mesjid sebagai pusat aktifitas masyarakat pada saat itu, melibatkan kaum perempuan dalam seluruh aktifitasnya, seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Ibnu Umar bahwa kaum perempuan saat itu turut menghadiri sholat jamaah shubuh.[28] Pada bulan ramadhan Rosulullah SAW mengajak seluruh keluarganya untuk I’tikaf di mesjid. Bahkan Rosulullah SAW memerintahkan kaum laki-laki untuk mengizinkan istrinya jika meminta izin pergi ke masjid pada malam hari.[29] Demikian pula dalam sholat-sholat munasabah yang lainnya.[30]
Rosulullah SAW juga mencontohkan kepada para sahabat untuk mengajak istri mereka untuk hadir dalam acara silaturahim dan pada acara-acara pernikahan. [31]
c. Menjadikan rumah sebagai tempat singgah dan dapur umum
Diantara shabiyat yang menjadikan rumahnya sebagai tempat singgah bagi siapa saja yang ingin beristirahat adalah Ummu Syuraik, beliau bukan hanya sekedar menyediakan tempat, tapi juga hidangan yang sengaja dipersiapkan, sebagaimana yang diriwayatkan Fatimah bint Qais.[32] Dalam riwayat yang lain Ummu Usaid memasak, menyiapkan makanan dan menghidangkannya di hadapan Rosulullah SAW dan para sahabat.[33] Riwayat ini menunjukan bahwa tidak ada kecanggungan dalam diri Ummu Usaid untuk hadir di tengah-tengah Rosulullah SAW dan para sahabat, selama tidak ada hal yang bisa memicu hadirnya kemaksiatan.
d. Pengumpulan dana sosial
Keimanan para sahabiyat tak hanya dibuktikan dengan keikutsertaanya dalam ritual ibadah semata, tapi juga dibuktikan dengan kesungguhan menghadirkan kepedulian kepada sesama. Maka setiap kali ada ajakan dan tuntutan untuk berinfaq mereka tak segan untuk melepas seluruh perhiasan yang melekat dan memberikan harta yang dimilikinya.[34] Hal ini dilakukan atas dasar keyakinan bahwa upaya dan usaha untuk menyebarkan nilai kebaikan akan lebih terjaga independensinya ketika tidak tercampuri dengan fasilitas yang diberikan oleh orang lain.
2. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
a. Kecerdasan dan semangat menuntut ilmu
Hadir dalam forum diskusi sering dilakukan oleh para sahabiyat, tak jarang muncul ide-ide cerdas yang menjadi solusi bersama. Seperti ketika para sahabat berdiskusi pada hari Arafah tentang apakah Rosulullah SAW puasa pada hari itu atau tidak . Semua saling bersilang pendapat, kemudian Ummu Fadl bint Harits bangkit dan menghidangkan minuman dihadapan Rosulullah SAW, dan beliau pun meminumnya.[35] Keterlibatan dalam diskusi bersama tidak membuat sahabiyat merasa puas, hingga mereka perlu menambah jam diskusi bersama Rosulullah SAW[36]. Kisah Asma Al Anshoriyyah menjadi bukti semangat menuntut ilmu kaum perempuan di zaman Rosulullah SAW.
b. Meriwayatkan Hadits
Keikutsertaan sahabiyat dalam berbagai aktifitas membuat mereka banyak mendengar langsung wahyu dan penjelasan-penjelasan Rosulullah SAW atas berbagai peristiwa. Hal inilah yang membuat banyak sahabiyat yang meriwayatkan hadits setelah Rosulullah SAW wafat. Diantaranya: Aisyah binti Abi Bakr, Hafshoh binti Umar bin Khattab, Ummu salamah, Zainab binti Jahsy, Ummu habibah, Juwairiyyah, Shofiyyah binti Huyay, maimunah, Asma binti Abu Bakr, Ummu Sulaim, Ummu Athiyyah, Zainab istri Abdullah ibn Mas’ud, Ummu Syuraik, Khaulah binti hakim, Ummul Hushain, Ummu Kultsum, Ummu Hani, Fatimah binti qais, Rubai’ binti mu’awwidz.[37]
Ada satu ungkapan Imam Adz-dzahaby mengomentari para perawi perempuan, bahwa tidak satupun perawi perempuan yang berbuat dusta atas hadits nabi.[38] Hadits yang diriwayatkan oleh para sahabiyat mengokohkan fakta tingginya semangat sahabiyat dalam menuntut ilmu. Bahkan mereka menjadi rujukan para sahabat dalam menyelesaikan permasalahan dan meluruskan pemahaman atau riwayat yang tidak tepat, seperti yang sering kali dilakukan oleh Aisyah ra .[39]
3. Seni dan Budaya
Sebagai manusia yang diciptakan dengan cita rasa seni, Islam tidak melarang pengikutnya untuk berekspresi dengan cara yang tidak ada unsur pelanggaran nilai syariat didalamnya. Hadirnya Aisyah bersama Rosulullah SAW untuk menyaksikan pertunjukan beladiri yang juga dihadiri para sahabat,[40] serta ekspresi penduduk madinah baik laki-laki maupun perempuan ketika menyambut kedatangan Rosulullah SAW, merupakan bukti bahwa ekspresi rasa yang dituangkan dalam seni dan budaya selama tidak ada unsur pelanggaran nilai syariat adalah dibolehkan
4. Ekonomi
Kemasyhuran kisah Khodijah sebagai pelaku ekonomi,[41] menunjukan bahwa beliau terbiasa berinteraksi dengan lingkungan bisnis. Secara logika sulit dibayangkan seseorang mencapai keberhasilan dibidang ekonomi dan bisnis, tanpa adanya intensitas interaksi. Selain Khodijah, ada nama Ummu Syuraik yang juga dikenal sebagai seorang konglomerat. [42]
Diriwayatkan pula sahabiyat yang aktif dalam kegiatan perdagangan dan industri kecil, seperti yang dilakukan oleh Zainab istri Ibnu Mas’ud.[43]
Keterlibatan dan kemampuan kaum perempuan di masa Rosulullah SAW inilah yang membuat Umar mengangkat seorang perempuan untuk mengawasi perekonomian masyarakat di zamannya.
5. Politik dan kenegaraan
a. Memberi Dukungan Politik[44]
Kesadaran bahwa Islam adalah agama yang syumul, mendorong para sahabiyat untuk berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang berdasar pada nilai-nilai Islam. Sejarah membuktikan bahwa dukungan politis terhadap deklarasi kenabian dilakukan pertama kali oleh seorang perempuan yaitu khadijah.[45] Keberanian Ummu Fadl untuk mengajak anaknya memberikan dukungan pada Rosulullah SAW padahal keluarga dan suaminya belum menerima Islam, adalah keberanian yang bukan hanya membutuhkan kekuatan tapi juga kecerdasan.[46] Ketika kaum quraisy mengintimidasi Rosulullah SAW dan para sahabat baik secara fisik maupun psikis, datang sekelompok orang dari Yatsrib tahun 11 kenabian yang memberikan dukungan politis dan menawarkan suaka bagi Rosulullah SAW dan para sahabatnya. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’ah Aqobah I yang diikuti oleh 17 perwakilan dari madinah yang bersumpah setia untuk tidak mensekutukan Allah, tidak berlebih-lebihan, tidak berzina, tidak membunuh, tidak berdusta, tidak menolak hal yang ma’ruf.[47] Satu tahun setelahnya, dalam intensitas penolakan Quraiys yang meningkat terhadap dakwah Rosulullah SAW, dan Makkah dirasa tidak lagi kondusif, datang utusan dalam jumlah yang lebih besar 75 orang dua diantaranya adalah perempuan yaitu Nusaibah binti Ka’ab dan Ummu ‘Ammarah.[48] Yang menarik dan luar biasa adalah bahwa bai’ah yang kedua ini memuat perjanjian yang bobotnya lebih berat dibanding perjanjian yang pertama,[49] yaitu :
1. tunduk dan taat dalam kondisi apapun
2. memberikan kontribusi financial dalam kondisi lapang ataupun sempit
3. konsisten memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar
4. tegak dijalan Allah, tanpa memperdulikan cacian orang yang mencaci
5. menolong dan membela Rosulullah SAW, sebagaimana mereka menolong keluarganya
Isi perjanjian ini dalam bahasa yang lebih sederhana, adalah komitmen sehidup semati. Kedua orang sahabiyat yang ikut dalam bai’ah ini membuktikan kesetiaannya pada Rosulullah SAW seperti yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
Riwayat lain yang menjelaskan keteguhan sahabiyat dalam memberikan dukungan pada Rosulullah SAW, tercermin dalam Perang Ahzab, yaitu pengepungan yang dilakukan tentara quraisy dan kaum yahudi terhadap kaum muslimin.[50]
b. Diplomasi PolitIk
Pada masa awal kenabian, jumlah pengikut Rosulullah SAW bisa dihitung dengan jari. Keinginan dan harapan agar agama ini juga diikuti oleh para pembesar Quraisy, tercermin dalam doa Rosulullah SAW agar agama ini dikuatkan oleh satu diantara dua Umar. Harapan ini terealisasi berkat diplomasi yang dilakukan oleh Fathimah binti Khattab adik kandung Umar, yang menghantarkan umat Islam pada kondisi yang lebih baik.[51]
Pada tahun kelima kenabian, intimidasi yang dilakukan kaum quraisy mengalami peningkatan yang mendorong Rosulullah SAW mengutus sahabat 12 laki-laki dan 4 perempuan menuju Habasyah untuk melakukan diplomasi, sebagai upaya untuk mencari wilayah yang memungkinkan Islam tumbuh dengan aman. Secara logika, perempuan yang diikutkan adalah ekspedisi ini adalah yang memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan penolakan, penindasan bahkan pengusiran.[52]
c. Bela Negara
Apa yang telah dipaparkan sebelumnya memberi gambaran yang jelas interaksi sahabiyat dalam berbagai bidang kehidupan. Apa yang dibahas pada bagian ini diharapkan bisa memuaskan dahaga orang yang belum meyakini betapa Islam memberikan kepada perempuan apa yang diberikannya pada kaum laki-laki. Lahan kehidupan mana yang lebih keras dan membutuhkan kekuatan dari lahan perang membela Negara?. Satu aktifitas yang terkumpul di dalamnya keberanian, kekuatan, semangat, kecerdasan, kehati-hatian, pengorbanan, ketulusan, dan kecintaan terhadap kebenaran.
Dalam banyak literatur sirah disebutkan sederet nama perempuan yang ikut serta dalam peperangan. Kontribusi sahabiyat dibuktikan dengan ikut serta dalam mempersiapkan logistic yang dibutuhkan, menjadi tim kesehatan yang siap mengangkat korban dan melakukan tindakan medis, bahkan lebih dari itu tercatat beberapa orang sahabiyat yang ikut bertempur di garda depan, ya berbaur dengan sahabat yang lain. Dalam perang Uhud, dua orang istri Rosulullah SAW; Aisyah dan Ummu Sulaim, maju kegarda depan membantu barisan sahabat.[53]
Dalam perang uhud, ketika musuh memukul mundur kaum muslimin dan Rosulullah SAW terdesak ada beberapa orang sahabat yang melindunginya dari serangan, dan diantara mereka adalah sahabiyat Nusaibah binti Kaab utusan bai’ah aqabah II, membuktikan sumpahnya dengan terus melindungi Rosulullah SAW dengan pedangnya, diakhir peperangan ada 12 goresan pedang ditubuhnya.[54]
Bahkan diriwayatkan bahwa ketika Rosulullah SAW menyampaikan nubuwwatnya tentang perang yang akan terjadi diatas lautan, Ummu Haram memohon agar didoakan untuk dapat serta dalam perang itu padahal pengetahuan mereka tentang laut saat itu belum ada (melihat lautpun belum pernah). [55]
KESIMPULAN
1. Dari data pustaka yang penulis baca, jelas terlihat bahwa masyarakat yang dibangun oleh Rosulullah SAW adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan. Abu Syuqqah dalam buku Tahrirul Mar’ah berusaha untuk melandasi pendapatnya tentang kehidupan sahabiyat, dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits shahih. Seperti disebutkan sebelumnya ada 300 hadits dalam shahih Bukhari yang dirasa cukup bagi penulis untuk sampai pada kesimpulan bahwa mengasumsikan Islam sebagai pemicu munculnya diskriminasi terhadap perempuan adalah asumsi yang keliru.
2. Objektifitas dalam menilai Islam sangat diperlukan. Keluhuran dan keagungan Islam tidak bisa hanya didasarkan pada realita pengimannya.
3. Adanya tuduhan ketimpangan gender dalam tafsir klasik, membutuhkan penelitian lebih mendalam tentang kondisi sosial dan politik yang melingkupi penafsir saat itu. Kalaupun ditemukan adanya kesalahan maka tidak serta merta menghilangkan keutamaan mereka dalam penafsiran yang lainnya. Dan siapakah selain Rosulullah SAW (yang ma’shum) yang tidak ditinggalkan perkataannya?
4. Perlu ada upaya pelibatan optimal ulama perempuan dalam menafsirkan dan menjelaskan ayat dan hadits tentang perempuan dalam koridor menghadirkan kembali
apa yang pernah dipahami oleh generasi Rosulullah SAW dan sahabat
5. Menurut penulis gerakan feminis perlu mengkaji ulang tema-tema yang di usung
agar sesuai dengan kebutuhan lokal masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dan tidak terjebak dalam isu barat sentris yang lebih mengedepankan kebebasan secara fisik. Meninjau ulang event-event perlombaan yang lebih menjual tubuh perempuan ketimbang akal, akan menjadi program yang lebih bijaksana dan diiringi dengan intensitas event-event yang mengarahkan perempuan pada optimalisasi potensi fikir dan rasa.
6. Gerakan feminis di Indonesia, mayoritas penggagas dan penggeraknya berasal dari satu organisasi massa tertentu, yang menurut hemat penulis gerakan ini lebih bersifat auto kritik terhadap kultur yang melingkupinya.
Wallahu a’lam bishshowab
DAFTAR PUSTAKA
· Al quraan
· Abu Syuqqah, Abdul Hamid. Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah (Kuwait: Darul Qalam, 1990)
· Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah (maktabah Ma’arif Islamiyah Vol 1)
· Al Mubarak Furi, Shafiurrahman. Arrahiqul makhtum (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1988)
· Qaradhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj (Citra Islami Press, 1997)
· Al-Saadawi, Nawal & Rauf Izzat, Hibbah. Perempuan Agama dan Moralitas, terj (Erlangga, 2002)
· Mernissi, Fatima. Islam dan Ontologi Ketakutan Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 2007)
· Batara munti, Ratna & Aminah, Hindun. Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Indonesia (Jakarta, 2005)
· Nursaid. Perempuan Dalam Himpitan Teologi Dan HAM ( Pilar Religi , 2005)
· Irianto, Sulistiowati. Perempuan Dan Hukum (Yayasan Obor Indonesia, 2006)
· LBH APIK. Respon Islam Atas Pembakuan Peran Perempuan ( Jakarta, 2005 )
· Journal Al Insan, vol 3, 2006
[1]Makalah ini ditulis sebagai pemenuhan tugas mata kuliah studi kepesantrenan yang diampu oleh
Prof. H. Zamaksyari Dhofier, MA. Ph.D
[2] Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana Program Studi Ulumul Qur’an dan tafsir UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo 2010
[3] Sulistiowaty, Perempuan Dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia 2006, hal 103
[4] Gerakan pembebesan perempuan yang memfokuskan agenda pada kesetaraan gender
[5] Ratna Batara Munti & Hindun Aminah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam Indonesia. Jakarta: LBH APIK 2005, hal 184.
[6] Adian Husaini, Hermenetika Feminis, Jurnal Al Insan 2006
[7] Adian Husaini, Hermenetika Feminis, Jurnal Al Insan 2006, mengutip Phillip J. Adler dalam buku
World Civilization 2000
[8] Ex: Fatimah Mernissi dari Maroko, Nawal Al-saadawi Mesir, Riffat Hassan Pakistan, Taslima Nasreen Bangladesh, Assia Djebar Aljazair, Zainah Anwar Malaysia, Musdah Mulia Indonesia
[9] Fatimah mernisi, Islam dan Antologi ketakutan Demokrasi . Yogyakarta: LKiS 2007, hal 181.
[10] Sulistyowati irianto, Perempuan dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
[11]Nursaid, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM. Jakarta: Pilar Religi 2005, hal 117.
[12] Nawal Al-Saadawi dan Hibbah Rauf Izzat, Perempuan Agama dan Moralitas. Jakarta: Erlangga 2002.
[13] Nursaid, Perempuan dalam Himpitan Teologi dan HAM . Pilar Religi 2005, hal 184.
[14] Adian Husaini, Hermenetika Feminis, jurnal Al Insan, 2006.
[15] LBH APIK, Respon Islam atas Pembakuan Peran Perempuan. Jakarta 2005, hal 3.
[16] Nawal Al-saadawy, Perempuan Agama Dan Moralitas.Jakarta: Erlangga, hal 184 (mengekor pemikir feminis barat Tivka frymer-kensky dlm bukunya Goddesses; biblical echoes).
[17]Nawal Al-saadawy, Perempuan Agama Dan Moralitas.Jakarta: Erlangga, hal 94.
[18] Nawal Al-saadawy, Perempuan Agama Dan Moralitas. lihat judul “Memisahkan Agama dari Kehidupan perempuan dan langkah Menuju Kemajuan.” Jakarta: Erlangga 2002.
[19]Ratna Batara Munti & Hindun Aminah, Posisi Perempuan Dalam hokum Indonesia. Jakarta 2005.
[20] Yusuf Al-Qorodhowy, Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.lihat pembahasan Wanita dalam Masyarakat Islam. Jakarta: Citra Islami Press 1997.
[21] Syamsuddin Arif, Menyikapi Feminisme dan Isu Gender, Jurnal Al Insan vol 3, 2006.
[22] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 68.
[23] Buku ini sebagai jawaban atas buku Qasim Amin, Tahrirul Mar’ah , kairo 1899.
[24] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 127.
[25] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 172.
[26] Abu Syuqqah Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 174.
[27] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 174.
[28] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 181.
[29] Maksudnya untuk shalat subuh dan isya, seperti dalam riwayat Ibnu Umar tentang Istri Umar yang meminta izin untuk shalat subuh dan isya di mesjid (lihat: Abu Syuqqah, 2:182).
[30] Seperti shalat ‘iedul fitri dan ‘Iedul adha, shalat gerhana, shalat jenazah, shalat istisqa
[31] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 130.
[32] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 45.
[33] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 33.
[34] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 1, hal 160.
[35] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 43.
[36] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 1, hal 171.
[37] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 1, hal 118-122
[38], Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 1, hal 11.
[39], Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 1, hal 54-57, dan jilid 1, hal 200.
[40], Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. jilid 1, hal 124.
[41] Ibnu hisyam, Assirah Annabawiyyah, hal 189-190; Mubarak Furi, Arrahiqul Makhtum, hal 65.
[42] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2:45
[43] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 344.
[44] QS. Al mumtahanah :12
[45]Mubarak Furi,Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 65.
Ibnu hisyam, Sirah Nabawiyah. Maktabah Ma’arif Islamiyah, vol I, hal 189-190;
Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 1, hal 190.
[46] Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashrir Risalah. Kuwait: Darul Qalam 1990. Jilid 2, hal 417.
[47] Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 129.
[48]Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 133.
[49]Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 134.
[50] Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 275.
[51] Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 91.
[52] Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 81.
[53]Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashri Ar-Risalah. Kuwait: Darul Qalam, 1990, jilid 2, hal 218.
Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 223-211.
[54] Mubarak Furi, Mubarak Furi, Arrahik Al-Makhtum. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah 1988, hal 248.
[55]Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah Fi ‘Ashri Ar-Risalah. Kuwait: Darul Qalam, 1990, jilid 2, hal 218.