Buku ini relatif baru, “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan” ditulis pada 2019 oleh Ahmet T. Kuru seorang guru besar ilmu politik dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University. Buku ini menarik sebagai bahan renungan khususnya untuk umat islam dalam mencari jawaban atas masalah-masalah terkini. Ahmet T. Kuru mengajak kita untuk mencari akar masalahnya dengan bertamasya melihat episode peradaban Islam dari abad ke 6 sampai hari ini.
Buku ini hendak menjawab pertanyaan besar mengapa negara-negara berpenduduk Mayoritas Islam hari ini tertinggal dari negara Barat dalam segi sosioekonomi dan demokrasi? Mayoritas negara berpenduduk muslim juga anti demokrasi dan otoriter. Apakah islam sebagai agama yang dianut penyebab masalah itu?
Dengan menggunakan analisis perbandingan sejarah Islam dan Eropa, Ahmed. T Kuru dengan tegas menjawab: Bukan! Islam bukan penyebab ketertinggalan. Peradaban Islam pernah unggul dalam sosioekonomi dan teknologi abad ke 8-12 dari Peradaban Eropa. Sama halnya Peradaban Eropa unggul dari Peradaban Islam dari abad ke 17 sampai hari ini.
Abad ke 8-12 para pedagang dan sarjana islam mampu mencapai capaian besar dalam sains dan kesejahteraan. Baghdad menjadi kota gemerlap saat Toledo bahkan belum mengenal budaya mandi. Ilmuan cemerlang muncul dari Dunia Islam saat masyarakat Eropa banyak yang tidak bisa baca-tulis.
Namun, setelah Abad ke-12 dunia islam mulai menurun. Ahmet T. Kuru berpendapat bahwa kemunduran itu karena relasi antar kelas yang rusak. Sebuah peradaban ditopang oleh empat kelas utama yaitu Bangsawan/negarawan, agamawan/ulama, Filsuf/Intelektual, Pengusaha/Pedagang/Borjuis.
Abad ke 8-12, terjadi keseimbangan antar kelas, kelas intelektual diberi dukungan oleh negara. Sebagai contoh, didirikannya “Rumah Kebijaksanaan” oleh Khalifah Dinasti Abasiyah Al Ma’mun untuk tempat berkumpul para filsuf dan cendekiawan. Pemberian penghargaan kepada para penerjemah berupa emas seberat buku yang diterjemahkan. kelas pedagang diberi kebebasan untuk ekspor ataupun impor produk dari negeri jauh sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Para Ulama pada era itu juga tidak menjadi bawahan negara sehingga bisa disetir atau menyetir negara tetapi dibiayai oleh kaum borjuis atau pedagang. Imam Abu Hanifah bahkan seorang ulama yang juga berdagang sehingga tidak tergantung dengan Negara.
Kondisi sebaliknya terjadi di Eropa. Eropa dipimpin oleh kelas militer/ksatria yang berkongsi dengan agamawan gereja. Kaum Gereja waktu itu adalah penafsir tunggal kitab suci yang tidak bisa dibantah sehingga kaum intelektual tidak tumbuh yang kemudian mengakibatkan tidak adanya inovasi teknologi. Kaum pedagangpun diperas oleh negara dengan pajak yang mencekik untuk kebutuhan kesejahteraan bangsawan dan perang sehingga tidak adanya kemajuan dalam ekonomi.
Hal itu juga yang membuat dunia islam mulai turun sejak abad ke 12. Selain karena Serangan Mongol dan Pasukan templar dalam perang salib, sebenarnya akar masalahnya adalah saat Negara/kekhalifahan islam dimulai dari Dinasti Seljuk bersekutu dengan ulama dan meminggirkan kaum intelektual dan pedagang. Disaat yang sama, Romawi Barat memberi akses penuh pada intelektual dan pedagang. Colombus dibebaskan mencari benua baru dan sarikat dagang banyak dibentuk termasuk VOC yang menjajah Indonesia.
Kesultanan Islam dimulai dari Seljuk, Ustmani, Mughal, Syafawi berkongsi dengan ulama untuk melegitimasi kekuasaanya namun disisi lain menyingkirkan kelas Intelektual dan pedagang yang dianggap mengancam kekuasaan. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi fatalistik dan tidak ada keinginan untuk meneliti atau mempelajari sains dan berdagang. Mereka enggan berdagang karena hak milik yang tidak dijamin dan pajak yang tinggi.
Hal ini terjadi hingga ditemukannya mesin uap, industrialisasi, revolusi protestan di Eropa Barat yang membuat ekonomi mereka melejit sementara dunia islam terpuruk. Lalu dimulailah era kolonialisme barat terhadap negara-negara islam yang membuatnya makin terpuruk. Meski kebanyakan sudah merdeka, namun negara-negara berpenduduk islam itu sulit bangkit sampai hari ini.
Buku ini menarik sebagai renungan untuk para islamis atau aktivis islam yang memutuskan berpolitik di negara-negara mayoritas muslim. Apakah bisa para politisi islam itu mampu jika saatnya nanti memimpin untuk berperan seperti Era Abasiyah abad 8-12 dulu? Mewujudkan relasi antar kelas yang seimbang antara Negara, Ulama, Intelektual dan Pedagang?
*Subhan Triyatna, Humas PKS Kab. Cirebon