Oleh: EH Ismail
Prahara koalisi pemerintah yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) masih terus berlangsung seusai PKS ‘membelot’ pada keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sikap PKS yang berseberangan dengan anggota partai koalisi lainnya jelas merupakan tikaman terhadap pemerintah. Apalagi, PKS mengatasnamakan rakyat atas penolakannya terhadap kenaikan BBM.
Tongkat komando Setgab yang dipegang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak bisa serta-merta diayunkan untuk mengeluarkan keputusan penyingkiran PKS dari lingkaran koalisi. Nilai historis sebagai partai yang sejak awal mendukung pencalonan SBY sebagai presiden, tampaknya menjadi salah satu belenggu yang menahan ayunan tongkat komando SBY. Sementara itu, PKS sepertinya menyadari posisi penting partainya dalam koalisi.
Walaupun sering bersikap ‘nakal’ dengan tidak selalu satu suara dengan Partai Demokrat sebagai pimpinan koalisi, PKS mengerti betul pertaruhan yang sedang dimainkan. Jika saja PKS langsung dikeluarkan dari koalisi akibat sikap ‘membela rakyat’-nya, PKS akan menjadi partai yang memperoleh momentum emas menjelang pertarungan Pemilu 2014. Tentu saja dengan berbagai survei yang menyimpulkan adanya krisis kepercayaan rakyat terhadap parpol, langkah politik populer PKS menolak kenaikan BBM bisa menjadi rahim baru bagi ekspektasi publik terhadap parpol yang benar-benar memikirkan rakyat.
Apalagi, ingar-bingar penolakan kenaikan harga BBM terpusat di Ibu Kota yang beberapa bulan ke depan akan menghelat Pemilu Kepala Daerah. Perebutan kursi DKI-1 juga menjadi faktor penting dalam pertimbangan nasib PKS di koalisi. Ditambah lagi, calon pasangan gubernur-wakil gubernur yang diusung Demokrat dan PKS akan berdiri berhadap-hadapan sebagai kompetitor.
Berhasil meraih simpati publik sebagai partai yang dizalimi karena membela keinginan rakyat, tentu akan mendongkrak raihan suara PKS di Pemilukada DKI Jakarta. Dengan mencermati ingatan publik kita yang pendek, jika momentum pemecatan PKS dilakukan berdekatan dengan hari pemilihan pemimpin Ibu Kota, bukan hal yang sulit bagi PKS mengelola isu ‘dizalimi’ ini sebagai barang dagangan kampanye yang laris manis.
Lepas dari itu semua, pemecatan PKS dari koalisi menjadi tidak lebih mudah kalau menimbang konstelasi politik di parlemen pascakoalisi non-PKS. Masalahnya bukanlah suara koalisi akan kalah dengan suara oposisi di DPR. Jika saja (sekali lagi jika saja) PKS dikeluarkan dari koalisi, suara koalisi di parlemen masih tetap mayoritas. Minus 57 suara PKS, koalisi masih mempunyai 366 suara dari 148 suara Demokrat, 106 suara Golkar, 46 suara PAN, 38 suara PPP, dan 28 suara PKB. Sedangkan di kubu oposisi, jika PKS langsung memutuskan bergabung dengan PDIP (94 suara), Gerindra (26), dan Hanura (17), kekuatannya barulah 194 suara.
Secara hitung-hitungan matematis, tidak ada yang perlu ditakutkan Demokrat sebagai pemimpin koalisi. Namun, politik bukanlah ilmu eksakta. Dengan komposisi kekuatan parlemen yang menyisakan margin tipis, Demokrat tentu memperhitungkan peran Golkar yang akan sangat menentukan dalam perjalanan pemerintah dua setengah tahun mendatang. Betapa tidak, Golkar akan menjadi satu-satunya partai yang bisa memainkan ritme politik dan gaya permainan pemerintah menjelang Pemilu 2014. Kalau dihitung lagi, pasca-PKS keluar dari koalisi, suara Golkar adalah suara yang paling menentukan kekuatan di parlemen. Ke mana suara Golkar, akan menentukan siapa yang akan menang dalam setiap pengambilan keputusan di DPR.
Mungkin karena inilah dalam sidang paripurna keputusan kenaikan harga BBM yang lalu menggema suara jargon Suara Golkar Suara Rakyat. Golkar sadar betul, menyingkirkan PKS dari koalisi artinya memenangkan pertarungan di parlemen. Karena itu, tak heran kalau Golkar tampak menjadi partai yang peling ngotot mendepak PKS dari Setgab melalui komentar-komentar para kadernya.
Dalam situasi politik seperti ini, Partai Demokrat, Partai Biru yang belum genap 11 tahun berkiprah di kancah politik nasional, sedang diuji kepekaan dan kemahirannya berpolitik. Salah mengangkat bidak, Demokrat bukan saja bakal kehilangan dukungan pada 2014, tapi juga terancam tenggelam dalam buku sejarah perjalanan politik bangsa ini. Mari kita tunggu saja permainan bidak yang akan dilakukan Demokrat dalam situasi saat ini.