Oleh : Cahyadi Takariawan
“Konsentrasikan ingatan anda. Hadirkan semua sisi kebaikan pasangan anda selama ini. Kumpulkan semua sisi positif pasangan anda”, demikian kalimat perintah saya kepada para peserta Pelatihan Wonderful Family di Kota Makassar, beberapa waktu yang lalu.
“Waktu anda tiga menit untuk menuliskan semua sisi kebaikan dan sisi positif pasangan anda. Silakan mulai menulis !” lanjut saya. Sekitar 100 pasangan suami isteri peserta Pelatihan tersebut segera menulis di atas kertas yang telah disediakan panitia.
Satu menit berlalu. Saya perhatikan peserta serius mengingat kebaikan pasangan untuk dituliskan. Dua menit berlalu. Beberapa peserta tampak sudah selesai menulis. Tak ada lagi kalimat yang akan dituliskan. Tiga menit sudah, waktu untuk peserta habis.
“Waktu habis. Silakan berhenti menulis”, ungkap saya. “Sekarang hitung berapa poin kebaikan pasangan yang berhasil anda hadirkan dalam tiga menit ini”. Tampak para peserta menghitung poin yang barusan selesai mereka tuliskan.
“Waktu habis. Silakan berhenti menulis”, ungkap saya. “Sekarang hitung berapa poin kebaikan pasangan yang berhasil anda hadirkan dalam tiga menit ini”. Tampak para peserta menghitung poin yang barusan selesai mereka tuliskan.
“Siapa yang menulis di atas 20 poin?” tanya saya. Tidak seorangpun angkat tangan.
“Siapa yang menulis lebih dari 15 poin?” Seorang wanita angkat tangan. Segera saya minta ia maju ke depan forum. Ternyata ia menulis 16 poin kebaikan suaminya.
“Tolong bacakan 16 poin kebaikan suami tersebut”, pinta saya.
“Siapa yang menulis lebih dari 15 poin?” Seorang wanita angkat tangan. Segera saya minta ia maju ke depan forum. Ternyata ia menulis 16 poin kebaikan suaminya.
“Tolong bacakan 16 poin kebaikan suami tersebut”, pinta saya.
“Pertama, suami saya rajin ibadah. Kedua, ia ganteng. Ketiga, sangat romantis. Keempat, setiap hari selalu ada kata sayang untuk saya…..” jawab wanita tersebut terbata-bata.
“Terus?” tanya saya. Ia tidak mampu meneruskan. Matanya berkaca-kaca.
“Biar saya yang membacanya”, ungkap saya. Iapun memberikan kertas kerjanya.
“….Kelima, senang memijit isteri. Keenam, senang membantu pekerjaan isteri. Ketujuh, pandai mendidik anak-anak. Kedelapan, suami saya sangat sabar. Kesembilan, menghormati orang tua dan mertua. Kesepuluh, tidak rewel dalam urusan makan…..” dan seterusnya. Saya membacakan enambelas poin kebaikan suami yang ia tuliskan.
“Terus?” tanya saya. Ia tidak mampu meneruskan. Matanya berkaca-kaca.
“Biar saya yang membacanya”, ungkap saya. Iapun memberikan kertas kerjanya.
“….Kelima, senang memijit isteri. Keenam, senang membantu pekerjaan isteri. Ketujuh, pandai mendidik anak-anak. Kedelapan, suami saya sangat sabar. Kesembilan, menghormati orang tua dan mertua. Kesepuluh, tidak rewel dalam urusan makan…..” dan seterusnya. Saya membacakan enambelas poin kebaikan suami yang ia tuliskan.
Luar biasa. Sangat jarang kami temukan peserta yang mampu menulis kebaikan pasangan dalam waktu sesingkat itu. Hanya tiga menit saja, namun ia mampu menuliskan enambelas poin kebaikan pasangan. Saya segera mengapresiasi dengan memberikan hadiah kepadanya. Saya katakan di forum, “Bersyukurlah suami yang isterinya mampu melihat sangat banyak kebaikan suami. Bersyukurlah isteri yang suaminya mampu melihat sangat banyak kebaikan isteri”.
Menjaga dan Memelihara Rasa Suka kepada Pasangan
Inilah yang sering saya sampaikan di berbagai forum, bahwa cara untuk menjaga rasa suka kepada pasangan adalah dengan jalan mengingat berbagai kebaikan pasangan. Fokus melihat sisi positif, sisi kelebihan, sisi kebaikan pasangan yang ada pada pasangan. Kenyataannya, setiap hari pasangan hidup kita melakukan sangat banyak perbuatan baik kepada kita, sejak bangun tidur di pagi hari hingga berangkat tidur lagi di malam hari.
Sangat banyak perbuatan baik yang dilakukan pasangan kepada kita, namun karena dilakukan setiap hari maka dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Isteri memasak setiap hari untuk keperluan keluarga, dianggap hal biasa. Bahkan sebagian suami menganggapnya sebagai kewajiban, bukan kebaikan. Suami yang setiap hari bekerja keras mencari nafkah adalah kebaikan. Namun karena itu yang menjadi kegiatannya setiap hari, maka dianggap sebagai hal yang lumrah dan wajar saja. Bahkan sebagian isteri mengatakan, itu bukan kebaikan karena memang menjadi kewajiban para suami untuk melakukannya.
Saya tanyakan kepada para peserta laki-laki, “Apakah para suami di sini rutin memberikan nafkah kepada isterinya ?” Para suami menjawab, “Ya, kami rutin memberi nafkah untuk keluarga”. Pertanyaan saya kepada para peserta perempuan, “Siapakah di antara anda yang menuliskan pemberian nafkah rutin sebagai kebaikan suami?” Ternyata hanya tiga peserta perempuan yang angkat tangan.
Ketika saya tanyakan kepada para isteri di forum itu, “Mengapa anda tidak menuliskan pemberian nafkah sebagai kebaikan suami?” Jawaban para isteri beragam. Ada yang menjawab, “Karena itu sudah biasa dilakukan, jadi wajar saja”. Ada yang menjawab, “Karena itu memang sudah menjadi kewajibannya”. Ada pula yang menjawab, “Karena itu sudah menjadi rutinitas, sehingga tidak dicatat sebagai kebaikan”.
Saya tanyakan kepada para peserta perempuan, “Apakah para isteri di sini rutin memasak untuk keluarga di rumah?” Para isteri menjawab, “Ya setiap hari kami memasak”. Pertanyaan saya kepada peserta laki-laki, “Siapakah di antara anda yang menuliskan, isteri rutin memasak untuk keluarga sebagai kebaikan isteri?” Ternyata hanya dua peserta yang angkat tangan.
Ketika saya tanyakan kepada para suami, “Mengapa anda tidak menuliskan memasak sebagai kebaikan isteri anda?” Jawaban para suami, “Itu kan sudah menjadi kewajibannya”. Sebagian lain mengatakan, “Itu sudah biasa dilakukan semua perempuan dimana-mana”. Begitulah mereka memahami tentang aktivitas memasak yang dilakukan isteri setiap hari di rumah. Seakan-akan sudah menjadi kewajaran sehingga tidak dicatat sebagai kebaikan.
Ketika saya tanyakan kepada para suami, “Mengapa anda tidak menuliskan memasak sebagai kebaikan isteri anda?” Jawaban para suami, “Itu kan sudah menjadi kewajibannya”. Sebagian lain mengatakan, “Itu sudah biasa dilakukan semua perempuan dimana-mana”. Begitulah mereka memahami tentang aktivitas memasak yang dilakukan isteri setiap hari di rumah. Seakan-akan sudah menjadi kewajaran sehingga tidak dicatat sebagai kebaikan.
Ketika saya tanyakan di forum, “Orang yang melakukan kewajiban itu orang baik atau tidak baik?” Serentak mereka menjawab, “Orang baik”. Nah, jadi mengapa anda tidak menganggap kewajiban yang dilakukan pasangan anda sebagai kebaikan? Bukankah orang yang menunaikan kewajiban adalah orang baik? Kenyataannya, kita semua akan bersedih apabila pasangan kita menolak melakukan kewajibannya.
Apa yang Menutupi Mata Anda?
Percayakah anda bahwa selembar daun bisa menutupi dunia? Ya, ketika daun itu menutupi mata anda, maka tertutuplah dunia. Anda tidak bisa melihat apapun lagi, karena mata anda tertutup oleh selembar daun.
Maka, janganlah kekurangan pasangan menutupi mata anda, sehingga anda tidak bisa lagi melihat sangat banyak kebaikan yang ia lakukan. Apabila mata anda ditutupi oleh kekurangan pasangan, maka anda tidak sanggup melihat berbagai kelebihan yang dimilikinya.
Mulai sekarang, fokuskan perhatian anda kepada sisi kebaikan dan sisi positif pasangan anda. Jika kebaikan dan kelebihan pasangan yang selalu anda ingat, maka anda akan selalu bersyukur karena memiliki pasangan hidup yang sangat banyak memiliki kebaikan. Sebaliknya, anda akan selalu mengeluhkan pasangan, jika yang anda ingat hanyalah sisi kekurangan dan sisi negatif pasangan.
Sebuah Testimoni
Usai acara tersebut, keesokan harinya saya dikejutkan oleh sebuah SMS dari seorang suami yang menjadi peserta Pelatihan, “Saya merasa menyesal telah menyimpan sisi kekurangan dan sisi negatif isteri saya selama duapuluh tahun pernikahan kami. Terimakasih telah mengingatkan”.
Hari berikutnya, SMS datang dari isterinya. “Alhamdulillah, suami saya dengan tulus menyampaikan permintaan maaf kepada saya sepulang mengikuti acara Pelatihan Wonderful Family kemarin. Setelah duapuluh tahun kami menikah, baru kali ini ia meminta maaf kepada saya. Duapuluh tahun saya jalani dengan penuh kegetiran, karena sikap suami saya yang selalu mencari-cari kesalahan dan mengungkiut kekurangan saya. Ini adalah hari yang sangat membahagiakan saya setelah duapuluh tahun berkeluarga, bahwa suami saya berjanji akan menjadi lebih baik, dan menyesali sikapnya kepada saya selam ini. Terimakasih telah berbagai dengan kami”.
Alhamdulillah.
pasangan kita adalah bagian dari kita, kekurangannya adalah kekurangan kita juga, kelebihannya adalah kelebihan kita juga. penyempurnaan adalah ikhttiar kita bersama pasangan.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.