Ahmad Musyafa’
Hanya manusia tegar yang mampu bertahan. Gelombang ancaman yang bertubi-tubi menerpanya, tidak pernah memudarkan tekadnya. Semakin dahsyat goncangan menghampirinya, semakin kokoh membaja bangunan keimanannya. Ia memahami tabiat sebuah perjuangan. Tampil sebagai pemenang atau mati syahid. Tapi tidak bagi pemilik mental munafik pengecut. Menurutnya, kemenangan adalah tatkala nyawa selamat dari ancaman musuh, meski dengan menjual ideologi dan mengorbankan kawan sendiri. Larut dalam kilauan perhiasan dunia. Model manusia yang tidak pantas memikul amanat kemenangan.
Gaza. Ya! Gaza kembali menjerit. Ia memekikkan takbir. Memanggil mereka yang masih mempunyai nurani. Tapi tetangganya tak kunjung terketuk hatinya. Tetangga serumpun, sesama bangsa Arab. Sesama pengikut agama tauhid. Gaza telah membayar mahal kehormatan negerinya dengan darah dan jiwa. Tapi tak ada seruan jawaban. Kering sudah kerongkongan. Pita suara sudah robek oleh pekikan suara tiada henti. Sekeras apapun jeritan pedih Gaza, tak akan pernah sampai kepada telinga para penakut. Mendengar tapi skeptis melihat keadaan. Khawatir dan cemas. Takut mendapat giliran ancaman musuh yang sedang merongrong dunia Islam. Yaqûlûna nakhsyâ an tushîbanâ dâ’irah.” (QS. Al-Maidah: 52).
Belum terobati rasa capek. Penduduk Gaza harus meronta di Mesir sepulang Ibadah haji. Mendekam berhari-hari di perbatasan penyeberangan Rafah. Teramat sakit dikhianati saudara sendiri. Belum kering darah tertumpah akibat percikan Molotov, belum juga terselesaikan krisis minyak. Persediaan obat-obatan serba terbatas, tidak sepantasnya terjadi di bumi pusat pembantaian manusia tak berdosa. Pemutusan aliran listrik oleh Israel tak jua menjadi perhatian dunia internasional. Pembunuhan perlahan-lahan ini belum juga memuaskan serigala haus darah. Darah anak kecil dan wanita tak berdosa tidak lagi berharga. Kesedihan bukan hanya tertumpu pada darah dan nyawa para syuhada. Jaminan tiket masuk surga sudah mereka genggam. Hidup selama-lamanya di hadapan Allah. Walâ tahsabanna alladzîna qutilû fî sabîlillâhi amwâta, bal ahyâ’un ‘inda Rabbihim yurzaqûn. (QS. Âli Imrân: 169). Bukan itu. Tapi sikap bisu pemimpin-pemimpin negara Arab-Islam. Takut berhadapan dengan makhluk biadab yang tidak pantas ditakuti. Itulah yang mengiris-iris hati ini.
Pemimpin-pemimpin negara Arab patut belajar kepada pemain bola terbaik Mesir, Abu Terika. Dia mengekspresikan kegembiraan golnya dengan sangat spektakuler. Lelaki jangkung itu bangga menyatakan “Sympathize with Gazza,”tatkala mata dunia terfokus padanya. Bagaimana reaksi Israel? Sangat tidak berimbang. Menekan Confédération Africaine de Football (CAF) agar menjatuhkan hukuman berat. Kartu kuning dan peringatan keras pun harus diterima Abu Terika. Jiwa ksatria yang patut diteladani. Apa alasan Israel menekan? Kenapa ribuan nyawa direnggut, martabat wanita direndahkan, dan perlakuan menerjang batas kemanusiaan, hanya reaksi bisu yang muncul? Sangat kontras. Padahal Rasulullah Saw. menyatakan perang dengan Yahudi Bani Qainuqa, hanya karena jilbab seorang Muslimah dibuka paksa oleh beberapa orang Yahudi yang bersekongkol.
Mungkin ini masih proses. Bersabarlah! Berproses menuju kemenangan gemilang. Seleksi ketat mencari hasil cemerlang. Kemenangan agung Perang Badar menyapa. Mengingatkan bahwa kemenangan tidak datang tiba-tiba tanpa proses panjang dan melelahkan. Penyaringan untuk membersihkan barisan Islam dari kaum munafik. Hum al-‘aduwwu fahdzarhum. (Q.S Al-Munâfiqûn: 4)