Ar-Riyaadah (jiwa kepeloporan) terbagi dalam tiga jenis, sebagai berikut:
Pertama, ar-riyaadah ruhiyah wal ma’nawiyah, kepeloporan dalam ruhiyah dan maknawiyah, dalam mentalitas dan moralitas. Kepeloporan ruhiyah dan maknawiyah ini akan mudah terlihat dalam mawaqif (sikap-sikap) ketika menghadapi aneka ragam tantangan, tuntutan pengorbanan dan resiko. Ia akan nampak dalam sikap-sikap yang tenang dan tidak gelisah karena memiliki mustaqrir nafsian wa fikrian, yakni tenang dan stabil secara kejiwaan dan pemikiran.
Di dalam situasi apa pun kader dakwah seharusnya tidak tergoyahkan oleh tantangan, resiko dan ancaman apa pun. Ar-riyaadah ruhiyah wal ma’nawiyah ini terbentuk oleh lima muwashafat (karakter) utama sebagaimana digambarkan oleh Ali bin Abi Thalib ra:
- al-khaufu minal Jalil, takut kepada Allah.
- al ‘amalu bit tanzil, beramal dengan selalu berpanduan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
- asy-syukru bil jazil, selalu bersyukur akan pemberian dari Allah yang demikian banyak dan tak terhitung—wa in ta’uddu ni’matallahi laa tuhsuha, kalau kita ingin menghitung-hitung nikmat dari Allah niscaya kita tidak akan sanggup menghitungnya.
- As-shabru bil qalil, bersabar ketika ada kekurangan fasilitas atau harapan yang belum terpenuhi, keinginan yang belum terealisasi, obsesi yang belum tercapai, situasi yang mungkin menyakitkan ataupun kondisi yang mungkin merugikan.
- Al-Isti’dad li yaumir rahil, bersiap diri untuk menghadapi akhirat. Kita hidup berjuang memang di dunia, tetapi orientasi hidup kita tetap harus akhirat.
Kedua, ar-riyaadah al fikriyah wal ‘ilmiyah, kepeloporan pemikiran dan ilmu. Kepeloporan dalam idealisme, ideologi, pemikiran, ide-ide dan juga keilmuan. Hal ini baru bisa terwujud bila kita selalu bersemangat untuk melaksanakan perintah Allah: Iqra, baca! Kita harus selalu bersemangat membaca, baik membaca Qur’an, Hadits, maupun surat kabar dan majalah, termasuk juga mampu membaca situasi dan kondisi masyarakat karena masyarakat merupakan lembaran-lembaran buku besar yang juga harus dibaca. Di dalamnya ada lembaran-lembaran yang terkait dengan keagamaan, mustawa tadayyun sya’bi atau tingkat religiusitas rakyat, juga lembaran-lembaran budaya, ekonomi, sosial, politik, dan lain sebagainya.
Semangat membaca merupakan hal penting bagi kita sebagai da’i dan da’iyah sehingga akan dapat mengambil posisi, langkah-langkah, dan ucapan-ucapan yang tepat sebagaimana bimbingan Rasulullah saw kepada kita, khaatibun naasa ‘alaa qadri uquulihim, bahwa ketika berbicara dengan orang lain harus disesuiakan dengan tingkat intelektualnya. Sabda Rasulullah saw lainnya yakni khaatibun naasa ‘alaa lughati qaumihim, berbicaralah kepada manusia kepada manusia sesuai dengan bahasa kaumnya. Selain itu sabda Rasulullah saw, anzilun naasa manazilahum, menempatkan seseorang yang kita ajak bicara sesuai dengan kedudukannya secara proporsional. Jangan direndahkan namun juga jangan diagung-agungkan atau dikultuskan melainkan tetap proporsional sesuai dengan posisinya.
Semangat membaca dan menuntut ilmu merupakan tuntunan rabbani dalam Al-Qur’an. Sehingga semangat untuk menambah ilmu merupakan salah satu bentuk kepeloporan yang harus dimiliki.
Ketiga, ar-riyaadah bid-da’wah wal harakah, kepeloporan dalam dakwah dan pergerakan. Kader dakwah harus selalu berada di barisan terdepan yang tidak harus terkait dengan jabatan tertentu. Jangan sampai baru akan berada di barisan depan bila diberi jabatan. Kita dapat mengambil ibrah dari peristiwa proses serah terima jabatan panglima dari Khalid bin Walid kepada Abu Ubaidah bin Jarrah ra di tengah medan pertempuran. Perintah Khalifah Umar bin Khaththab untuk melakukan serah terima jabatan panglima perang sangat mendadak, sehingga sempat memunculkan situasi gamang, tetapi kemudian menjadi sejuk setelah ada pernyataan Abu Ubaidah bin Jarrah, “Lau laa amra khaliifati amiiril mu’miniina ‘Umar ibnil Khaththab bi an akuuna ma’muuran ahabbu ilayya bi an akuuna aamiran.”, kalau saja bukan karena perintah Khalifah Umar bin Khaththab saya lebih suka jadi anak buah dibanding jadi pemimpin.
Oleh karena itu kita memahami bahwa wazhifah tanzhimiyah (tugas struktural) bukan tasyrif (kehormatan) melainkan taklif (beban), karena diperintah dan ditugaskan dan bukan karena mencari atau mengejarnya. Sebaliknya Khalid pun dengan tenang menjawab: “Sekarang Anda pimpinan saya dan saya adalah prajurit, tetapi tolong izinkan saya menyelesaikan dulu satu pertempuran yang insya Allah akan memudahkan Anda nanti untuk memimpin.” Kata Abu Ubaidah, “Silahkan selesaikan pertempuran itu.” Maka setelah Khalid menyelesaikan pertempuran tersebut ia pun kemudian menyerahkan tugas-tugas sebagai panglima kepada penggantinya yang ditunjuk Umar yakni Abu Ubaidah bin Jarrah ra.
Sumber: http://www.al-intima.com/