Demokrasi mati bukan lagi oleh Jenderal militer yang melakukan kudeta, tetapi justru oleh tokoh yang lahir dari rahim demokrasi, seorang populis yang terpilih secara demokratis namun tidak menghargai nilai dan norma demokrasi. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya yang mahsyur “How Democracies Die”.
Buku yang ditulis tahun 2018 itu memang sama sekali tidak membahas situasi politik di Indonesia, buku itu merupakan studi kasus munculnya Trump sebagai pemenang pemilu 2016 di Amerika yang menurut Levitsky dan Ziblatt mengancam kesehatan demokrasi. Mereka banyak juga mengambil pelajaran demokrasi yang rusak oleh pemimpin sipil seperti Vargas di Brazil, Alberto Fujimori di Peru, Ferdinand Marcos di Filipina dan Hugo Chavez di Venezuela.
Meskipun tidak membahas Indonesia, namun seperti manusia, kita bisa tahu kondisi kesehatannya bahkan dari ciri-ciri yang nampak dari luar. Muka pucat, tatapan sayu, panas tinggi merupakan beberapa ciri orang tersebut tengah sakit. Apalagi setelah di general check up lalu cek lanjut di laboratorium ditemukan kangker ganas dalam tubuhnya, kita punya dua pilihan: membiarkannya mati atau melakukan operasi besar.
Ceritanya selalu begitu, demokrasi rusak di suatu negara diawali oleh terpilihnya seorang demagog yang berkamuflase. Demagog adalah seorang provokator yang pandai memanipulasi Masa. Mulalnya demagog itu, dengan modal populer, berhasil memaksa pagar demokrasi yaitu partai politik dan elit politik untuk mencalonkannya menjadi calon presiden. Lalu dengan kelihaiannya itu dia terpilih menjadi presiden.
Disinilah dia mulai membuka topengnya. Dia kuasai seluruh lembaga demokrasi dengan cara merubah undang-undang bahkan konstitusi sehingga dia tidak melanggar hukum. Dia merubah aturan mainnya. Dia ganti wasitnya dengan loyalisnya. Sehingga dengan mudah dia memperpanjang jabatannya atau mewariskan jabatannya kepada anaknya. Seperti Chavez yang berkuasa 13 tahun di Venezuela dan Marcos berkuasa 21 tahun di Filiphina.
Namun efek yang lebih parah bukan lamanya demagog berkuasa, tapi kerusakan sistem dan norma demokrasi. Dengan rusaknya norma demokrasi akan lebih banyak lagi muncul pemimpin otoriter di masa depan. Kita akan dilelahkan untuk menurunkan mereka.
Levitsky dan Ziblatt memberitahu kita tentang ciri-ciri pemimpin yang mengancam kesehatan demokrasi dan bisa menyebabkan kematiannya, yaitu:
1. Dia menolak atau memiliki komitmen yang lemah terhadap nilai, norma dan aturan main demokrasi. Dia menggunakan aparat untuk memenangkan dirinya atau usungannya. Mengubah aturan demi meloloskan atau demi menguntungkan pihaknya. Menempatkan “orangnya” di lembaga demokrasi seperti penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu. Dia melakukan segala cara demi meloloskan tujuannya.
2. Menyangkal legitimasi lawan politik. Dia bisa saja menyebut lawan politiknya sebagai pelaku makar, ekstrimis, radikal atau anti konstitusi. Berbagai tuduhan serius kepada lawan politik bertujuan ingin menjatuhkan legitimasi lawan politiknya.
3. Toleransi atau anjuran kekerasan. Dia memegang penuh akses terhadap militer. Dia menganjurkan atau minimal membiarkan perilaku penuh kekerasan pendukungnya kepada lawan politik secara tersembunyi atau terang-terangan.
4. Kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Dia membredel atau mengancam media masa. Atau bisa jadi “membeli” media tersebut dengan uang atau jabatan. Bisa juga membatasi bicara oposisi dengan undang-undang pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Levitsky dan Ziblatt tentu tidak menyebut apakah Jokowi merupakan seorang demagog yang mengancam demokrasi atau tidak. Namun kita tahu bahwa ada sesuatu yang selamanya sama, seperti kata Lord Acton: Power Tends To Corrupt, Absolute Power Corrupts Absolutely. Kekuasaan cenderung merusak, kekuasaan penuh merusak sepenuhnya.
Kita punya kewajiban untuk menjaga demokrasi. Dan hal terpenting dalam demokrasi bukanlah konstitusi atau pagar demokrasi (Sistem Politik, Elit Politik dan Partai Politik), Namun sesuatu yang tidak tertulis. Seperti ruh yang menjaga badan tidak menjadi mayat. Ruh demokrasi adalah norma toleransi dan menahan diri. Toleransi terhadap lawan politik sehingga demokrasi tetap menjadi lomba lari, bukan tinju yang saling menjatuhkan. Dan Menahan diri dari menggunakan semua kekuasaan yang akan merubah dirinya menjadi otoriter, memunculkan demagog baru serta membunuh demokrasi.
Kita punya kewajiban untuk mengalahkan calon yang diusung Jokowi bukan sekedar agar kekuasaan berpindah namun yang lebih penting sebagai cara mencegah sekarat demokrasi.
*ST Sadanur, Politisi Kabupaten