Suka atau tidak suka, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menjadi sebuah fenomena. PKS telah membuktikan diri sebagai parpol yang solid, hidup, dan kuat. PKS tampaknya bukanlah parpol biasa yang konvensional. PKS adalah parpol dengan genre baru yang unik yang telah menjadi semacam komunitas.
Apa yang disebut dengan “komunitas PKS” itu ada dan nyata. Salah satu karakteristik dari partai dengan genre ini adalah apa kata partai, itulah kata anggotanya! Sementara dalam parpol lain, apa kata partai tidak selalu paralel dengan apa kata anggota. Padahal paralelisme seperti itu sangatlah sentral dan signifikan dalam sebuah partai politik.
Paralelisme ini bukan hanya menunjukkan soliditas dan solidaritas internal partai, tetapi juga merefleksikan adanya saling kepercayaan (mutual trust) antara anggota dan pimpinan yang juga menunjukkan berjalannya mesin politik sebuah partai. Manakala mesin politik tidak berjalan, sejatinya partai politik tersebut telah kehilangan raison d’etre-nya.
Tan Malaka dalam bukunya Aksi Maksa (1926) menegaskan bahwa “keputusan yang setengah betul tetapi dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan anggota lebih baik daripada keputusan yang bagus sekali tetapi dikhianati oleh setengah anggota”.
Frase ‘dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan anggota’ ini penting karena perasaan gembira inilah yang menjadi roh partai. Seluruh barisan anggota bersedia bekerja menjalankan keputusan partai dengan gembira-meski keputusannya hanya setengah betul-,ini menunjukkan mesin politik dalam partai tersebut berjalan. Inilah yang disebut dengan partai politik yang sebenarnya alias partai politik par excellence!
Sangat sedikit
Di Indonesia sangatlah sedikit parpol yang organisasinya hidup, solid, dan kuat seperti itu. Di antara yang sedikit itu,demikian menurut banyak studi, adalah-jangan terkejut-Partai Komunis Indonesia (PKI). Antonie CA Dake dalam In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking (2002) menggambarkan betapa hidup dan dinamisnya PKI di bawah kepemimpinan Aidit.
Di samping berhasil menghela partai keluar dari isolasi politik, Aidit menerapkan disiplin partai serta membuka diri dengan menggandeng aliansi dengan kalangan borjuis nasional. Begitu pula, “The party was to increase its membership in six months from around 7,000 to 100,000. At the same time, a multitude of mass organizations were to be created or revamped, encompassing not only workers and peasents but also youth, women, poor people,ex-servicemen, and others.”
Sementara Tempo (7 Oktober 2007) melukiskan dengan sangat baik sebagai berikut, “Kantor PKI adalah markas yang hidup dan bergerak. Organisasi tak hanya mengurus program partai tapi juga tetek bengek lainnya seperti anggota yang meninggal dan melahirkan”.
PKI tak hanya menjadi organisasi politik tapi juga menjadi komunitas. Ketika kantor pusat PKI dibangun di Jalan Kramat Raya, Jakarta, sebagian besar dananya diperoleh dari sumbangan anggota yang pengelolaannya dilaporkan secara transparan. Koran Harian Rakjat digenjot oplahnya hingga mencapai 60 ribu eksemplar–jumlah yang fantastis untuk zaman itu!”
Kini PKS
Tetapi benarkah hanya PKI yang berhasil membangun partai politik yang solid, hidup, dan dinamis seperti itu? Dake dan Tempo harus melakukan koreksi atas teorinya itu atau setidaknya menoleh ke PKS.
Pasalnya, kini telah muncul partai seperti itu, yaitu PKS! Meski secara ideologi dan cita-cita berbeda secara diametral, PKS seperti halnya PKI memiliki mesin organisasi yang hidup, kuat, dan dinamis. Rapat-rapat massa dan rally PKS yang selalu rapi dan disiplin menambah bukti hidupnya partai ini. PKS mengurus anggotanya dan karena itu anggotanya juga menjalankan keputusan partainya, termasuk membayar iuran karena merasakan manfaat dari kehadiran partainya.
Partai bukan hanya menguntungkan dan menjadi alat bagi elitenya, melainkan juga bagi anggotanya dan cita-citanya. Di PKS, presiden partai harus berkonsentrasi penuh untuk mengurus partai dengan segala tetek bengeknya. Ada konvensi yang unik dan menarik di PKS: jika presiden partai terpilih menduduki jabatan publik, dia harus melepaskan jabatannya di partai.
Walhasil, dengan tradisi ini, orang yang bersangkutan bukan hanya tidak dihadapkan pada situasi dilematis karena konflik kepentingan akibat perangkapan jabatan, melainkan juga waktu, energi, dan pikirannya tercurah untuk partai atau jabatan politik yang dipegangnya. Sementara partai-partai politik lain justru punya kelaziman yang sebaliknya: memilih orang yang sedang menduduki jabatan publik (berkuasa) untuk menjadi ketua.
Di sisi lain, untuk mengamankan jabatan publik yang sudah diraihnya (menteri, gubernur, bupati, dan lain-lain), orang tersebut justru semakin memperkuat cengkeramannya dalam partainya. Rupanya ada psikologi ketakutan dalam diri orang-orang ini bahwa jika posisinya di partai lepas akan membahayakan jabatan politiknya itu.
Walhasil, alih-alih membangun partai menjadi kuat, mereka justru memperalat partai! Dalam suasana kepartaian yang seperti itulah PKS dengan spirit yang merona menyeruak ke depan dalam pentas politik nasional. Primus inter minus malum! (*)
Oleh: Hajriyanto Y Thohari
Pengamat Kenegaraan dan Keagamaan