Ketika Ketua DPR buka suara tentang tidak dianjurkannya mengenakan rok mini di lingkungan DPR, serentak komentar pro dan kontra bermunculan. Sebagian besar menentang dengan alasan mengenakan rok mini adalah hak asasi atau bentuk kebebasan ekspresi.
Saya mencoba mencerna alasan tersebut. Berpikir apakah mereka yang menentang adanya pembatasan rok mini di lingkungan DPR dengan vokal, selama ini juga menentang pembatasan berpakaian yang diterapkan, termasuk dalam berbagai acara undangan kenegaraan, bahkan acara resmi swasta sekalipun, “Mohon hadir dengan pakaian resmi, jins dan t-shirt tidak diperkenankan.“
Kalimat tersebut, misalnya, biasa kita temukan. Para wartawan yang berpakaian bebas, jika meliput di istana diharuskan mengenakan dasi. Padahal, bukankah mengenakan jins dan t-shirt atau tidak mengenakan dasi, juga bisa masuk ke dalam hak asasi dan kebebasan ekspresi?
Bagaimana pula dengan seragam? Sekolah memberlakukan seragam. Kantor banyak yang mengharuskan pemakaian seragam, termasuk di restoran, mal, dan hotel.
Tetapi, tidak terdengar protes tentang ini, sebab lumrah untuk dimengerti jika seorang tuan rumah atau lembaga mempunyai peraturannya sendiri. Biro media istana berhak menetapkan aturan berdasi pada wartawan pria yang ingin meliput di istana. Panitia satu acara berhak membuat kode etik berpakaian bagi mereka yang hadir, sebagaimana Departemen Pendidikan atau sekolah berhak membuat peraturan siswa harus mengenakan rok lima cm di bawah lutut.
Begitupun DPR atau Sekjen DPR juga berhak membuat aturan berbusana yang baik.
Pendeknya, soal rok mini bukanlah isu hak asasi melainkan lebih tepatnya hak satu lembaga untuk membuat aturan dengan alasan kenyamanan, norma, dan lainnya.
Tentu, supaya peraturan ini bisa diterima dengan baik, pihak DPR harus memberi alasan yang masuk akal, tidak terjebak dalam isu gender, dan politis. Rok mini pun bukan satu-satunya yang perlu dipersalahkan sebagai sebab pemerkosaan, karena banyak hal lain yang mungkin menjadi pemicu.
Beberapa hal berikut mungkin bisa dipertimbangkan.
Sudah bukan rahasia jika kehadiran perempuan dengan pakaian terbuka jauh lebih menarik perhatian kaum Adam ketimbang perempuan dengan penampilan tertutup. Dan, karenanya sangat mungkin menjadi distraksi dalam pertemuan-pertemuan formal yang digagas untuk membahas persoalan-persoalan besar.
Sementara itu, perempuan yang mengenakan rok mini, saat duduk, maka bagian yang terbuka akan semakin terekspose. Secara naluriah dalam situasi ini mereka akan berusaha menutup bagian yang terbuka dengan tas, map, berusaha menarik-narik ujung rok, atau membetulkan posisi duduknya berkali-kali hingga mungkin saja sedikit banyak terganggu fokusnya.
Sebagai poin tambahan, jika kita bertanya kepada para istri, manakah yang mereka pilih, suami dengan sekretaris atau rekan kerja yang mengenakan rok mini atau pakaian yang lebih tertutup? Saya kira tanpa perlu melakukan survei, kita sudah tahu jawabannya.
Tetapi, tentang aturan pakaian perempuan, ada juga yang mengatakan, justru mindset lakilaki yang harus dibenahi. Seperti komentar seorang aktivis perempuan, bukan berarti rumah yang terbuka setiap orang bisa mengambil sesuatu dari rumah itu, dan bukan salah pemilik rumah juga bila dibiarkan terbuka.
Kenyataannya, nyaris setiap pemilik rumah memilih menutup dan mengunci pintu rumah mereka demi keamanan. Bukankah ini menunjukkan tindakan tersebut sangat logis? Sebab, kejahatan terjadi bukan sekadar niat, melainkan juga didorong terbukanya kesempatan. Dengan alasan itu pula hukum dibuat. Jadi, ini bukan persoalan mindset semata.
Jika aturan kode etik pakaian wanita dengan rok di bawah lutut adalah hak yang legal, juga membuat semua pihak bisa bekerja tanpa distraksi, lalu mengapa peraturan ini harus diperdebatkan?
Apalagi terkait hak asasi dalam berpakaian, sebenarnya ada hal lain yang jauh lebih penting untuk dipersoalkan, yaitu saat anak-anak kita yang mengikuti inisiasi diharuskan mengenakan pakaian dengan berbagai atribut aneh dan tak pantas, sejak mereka meninggalkan rumah menuju sekolah/kampus, hingga kembali ke rumah. Belum terhitung kekerasan yang terjadi dan sudah memakan korban jiwa dalam penyelenggaraannya.
Tentang ini, seharusnya sudah sejak lama kita bersuara. Energi yang dihabiskan untuk membela rok mini, jauh lebih bermakna jika digunakan untuk membela hak asasi dan kehormatan anak-anak kita untuk berpakaian dan berpenampilan pantas, tanpa perlu dipaksa mempermalukan diri di awal mereka sekolah atau kuliah.[]
*REPUBLIKA (10/3/12)