Anak muda meskipun sering berkoar-koar di media sosial tentang permasalahan bangsa termasuk politik, namun hanya sedikit yang mau mengambil langkah strategis untuk menyelesaikannya yaitu berpartisipasi dalam sistem kenegaraan. Dengan lugu mereka berharap dengan cukup berbicara di media sosial maka permasalahan multidimensi itu akan selesai dengan sendirinya. Naif.
Dibanding pemuda, saya lebih senang menggunakan istilah anak muda. Sebab istilah pemuda bukan sekedar kelompok umur tetapi juga adalah kelompok mentalitas. Pemuda adalah sekelompok orang yang masih belia namun memiliki mentalitas rela berkorban dan memperjuangkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Contohnya adalah pemuda di era peristiwa sumpah pemuda, pemuda di masa perjuangan kemerdekaan, serta pemuda yang mendorong reformasi. Bukan berarti tidak ada lagi orang dengan karakteristik pemuda tersebut. Selalu ada tetapi minim jumlahnya. Sedangkan yang mayoritas hari ini adalah anak muda, dimana mereka hanya memperbincangkan hal remeh temeh seperti percintaan dan berorientasi pada dirinya sendiri.
Anak muda yang saya maksud adalah kelompok umur milenial dan zilenial atau biasa disebut Gen Y (Lahir 1981-1996) dan Gen Z (Lahir 1997-2012). Menurut sensus penduduk 2020, populasi penduduk Indonesia didominasi Gen Z yang mencapai 27,94% dan Gen Y yaitu 25,87%. Artinya lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah anak muda. Gabungan antara Gen Y dan Gen Z adalah 53,81%.
Gen Y dan Z sering disebut generasi digital meski ada sedikit perbedaan. Gen Z adalah native digital atau penduduk asli digital sebab semenjak lahir mereka suda bersentuhan dengan dunia yang serba otomatis dan digital. Dunia menurut mereka adalah layar kecil dalam genggaman tangan. Sehingga mereka punya kemampuan alamiah untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan teknologi yang pesat. Namun disisi lain mereka sulit lepas dari candu media sosial. Gen Y adalah Imigrant Digital, mereka sempat merasakan teknologi analog lalu beralih ke digital. Mereka mudah menyesuaikan diri dengan dunia digital namun masih bisa mengontrol efek candu. Meski mereka bisa beradaptasi dengan media sosial namun tidak secepat Gen Z.
Anak muda hari ini harus bertransformasi menjadi pemuda. Untuk menjadi pemuda, mereka bukan hanya harus peduli dengan permasalahan-permasalahan bangsa seperti lingkungan yang mulai rusak, korupsi yang membudaya dan malapraktik demokrasi, tetapi juga harus mengambil langkah proaktif dalam mengatasinya. Salah satunya dengan berpartisipasi dalam sistem pemerintahan, bukan sekedar berisik di media sosial.
Namun yang sekarang terjadi justru sebaliknya. Menurut Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022, sebanyak 84,7% anak muda tidak memiliki keinginan mencalonkan diri sebagai anggota DPR/DPRD dan 85,2% anak muda enggan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dengan kata lain, mayoritas anak muda tidak benar-benar peduli dengan permasalahan umum. Mereka hanya sekedar peduli atau peduli sekedarnya.
Memang betul, meski minoritas, beberapa anak muda merintis karir di dunia politik dengan tujuan berpartisipasi dalam pemerintahan. Bahkan ada Partai Baru yang mengklaim diri sebagai partai anak muda. Masalahnya, mereka selalu ingin muncul dan menjadi perhatian. Mungkin ini adalah penyakit turunan dari media sosial yang pada implikasinya mereka selalu ingin disorot dengan memilih medan politik nasional. Sedangkan di medan politik lokal mereka memandang sebelah mata sebab jarang tersorot media dan jarang diperbincangkan. Padahal, sejak kebijakan otonomi daerah benar-benar diaplikasikan, politik lokal di daerah betul-betul strategis dan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Negara ini terlalu besar untuk diurus oleh seorang presiden. Premis itulah yang mendorong dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Negara ini terlalu luas untuk dikuasai oleh satu kepala. Oleh karena itu, secara horizontal kekuasaan dibagi kepada 3 lembaga: Eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal kekuasaan dibagi melalui otonomi daerah. Daerah (Provinsi hingga kota/kabupaten) diberi wewenang untuk mengelola daerahnya dan menentukan kebijakan strategis untuk daerahnya.
Meskipun ide tentang otonomi daerah ini sudah muncul semanjak zaman penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang, Orde lama dan Orde Baru, namun baru di era reformasi diterapkan secara subtantif melalui Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang menjelaskan bahwa daerah diberi keleluasaan untuk memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Oleh karena itu, anak muda diharapkan bisa berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa hari ini melalui jalur resmi dalam sistem ketatanegaraan kita. Selain itu, mereka juga harus pandai memilih “medan pertempurannya”, bukan lagi hanya memilih medan nasional yang berisik tapi juga bertarung di medan lokal yang lebih strategis. Politik lokal apabila tidak diisi anak muda yang idealis akan tetap dipenuhi orang tua rakus dan tidak bisa diharapkan
*ST Sadanur (Tenaga Ahli DPRD Kab. Cirebon)