OLEH : DRS. H. ANWAR YASIN
(Anggota Komisi A DPRD Jawa Barat dari F-PKS)
Bumi Pertiwi kembali dirundung duka. Seakan tak kenal henti, ujian datang silih berganti. Mulai dari ujian berupa bencana alam, hingga bencana kemanusiaan. Dalam waktu kurang dari satu bulan saja, telah terjadi dua peristiwa yang mengguncang nurani dan berpotensi menghancurkan kerukunan antar umat beragama.
Peristiwa pertama adalah kembali meletusnya kerusuhan bermotif SARA di Ambon. Minggu, 11 September 2011 merupakan hari kelabu bagi ribuan warga Ambon. Kerusuhan dipicu berita tewasnya seorang tukang ojek bernama Darfing Saiman di kawasan Gunung Nona, Kudamati, Ambon. Masih belum jelas sebab kematiannya, apakah karena penganiayaan dan pembunuhan ataukah karena kecelakaan tunggal seperti dijelaskan oleh pihak kepolisian.
Namun massa terlanjur terprovokasi. Masyarakat yang emosi kemudian membakar sejumlah rumah dan kendaraan. Tawuran seperti perang terbuka pecah diantara dua kubu yang bertikai. Akibatnya 8 orang tewas, ratusan orang mengalami luka-luka dan ribuan lainnya harus mengungsi karena terancam keselamatan jiwanya.
Sedangkan peristiwa kedua adalah meledaknya bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh di kawasan Kepunton Solo pada Minggu, 25 September 2011. Ironisnya, peledakkan bom bunuh diri tersebut terjadi sesaat setelah acara kebaktian selesai. Akibatnya satu orang yang diduga pelaku tewas seketika dan 8 orang lainnya mengalami luka-luka akibat terkena serpihan bom.
Juru bicara Jamaah Anshorut Tauhid Jawa Timur, Zulkarnain, menduga bahwa bom bunuh diri ini berkaitan langsung dengan kerusuhan yang terjadi di Ambon. Menurut Zulkarnain, bom bunuh diri ini merupakan imbas dari ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus kerusuhan di Ambon. Kelompok-kelompok yang siap berjihad tertahan masuk karena pengetatan pintu-pintu masuk ke Ambon. Akibatnya banyak yang memutuskan untuk menyalurkan niat jihadnya di luar Ambon.
Maka perlu diperhatikan secara serius, bahwa peristiwa kerusuhan bermotif SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dapat menimbulkan potensi konflik horisontal yang sangat rentan terjadi di Indonesia. Peristiwa kerusuhan di Ambon dan peledakan bom bunuh diri di Solo ini tidak boleh dipandang remeh dengan menganggapnya sebagai kejadian yang sudah biasa terjadi. Karena hal ini dapat memicu terjadinya konflik yang lebih luas di seluruh penjuru tanah air.
Dalam aspek sosial ekonomi kemasyarakatan, Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan minimal terciptanya tiga hal dalam upaya menciptakan suasana Ambon yang kondusif dan menghindari terulangnya peristiwa kerusuhan serupa. Pertama, pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab dalam sektor kesejahteraan rakyat (Kesra) dan sosial, segera mencari terobosan menyelesaikan akar permasalahan di Ambon. Sebagai contoh, perangi kemiskinan di Maluku yang menurut statistik merupakan provinsi nomor tiga termiskin di Indonesia.
Kedua, rajut kembali nilai-nilai budaya Maluku yang telah terkoyak akibat konflik horizontal yang berkepanjangan, nilai budaya seperti ‘pela gandong’ yang seharusnya bisa menjadi perekat sosial di masyarakat. Yang ketiga, hilangkan sekat-sekat, hilangkan segregasi penduduk yang ada di Ambon. Sebab, segregasi ini tidak sehat, dan mudah menjadi penyebab kerusuhan. Akibat segregasi ini, muncul ego antar umat beragama dan antar kampung.
Sedangkan dalam aspek hukum dan penegakkan keadilan, kepolisian perlu bertindak cepat dalam menangkap dan mengadili setiap pelaku serta dalang dari kedua peristiwa ini. Jangan sampai aparat penegak hukum ini mendapatkan tudingan miring dari masyarakat berupa tuduhan bertindak diskriminatif kepada pihak tertentu. Karena setiap warga negara sama dan setara kedudukannya di hadapan hukum. Selama pemerintah atau penegak hukum bertindak diskriminatif, tidak tegas dan tidak transparan dalam menangani kedua peristiwa ini, maka dikhawatirkan hal ini akan terus terulang di kemudian hari.
Bagaimanapun, mempertahankan kerukunan umat beragama merupakan tugas berat yang begitu mulia. Perlu kerja keras dari berbagai pihak agar sesama umat beragama tidak mudah untuk terprovokasi dalam kerusuhan bermotif SARA. Perlu juga terus diefektifkan upaya preventif dari aparat yang berwenang dalam menjaga pertahanan dan keamanan. Dan tugas berat ini bukan saja kewajiban pihak intelejen kepolisian dan atau militer saja, tapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat. Para pemuka agama, tokoh masyarakat dan pejabat setempat perlu terus membangun komunikasi dan kerjasama yang baik dalam menjaga kerukunan umat beragama ini.
Akhir kata, semoga Bumi Pertiwi segera tersenyum kembali. Sudah cukup rasanya masyarakat dirundung duka dengan berbagai tragedi akibat keberingasan manusia atas manusia yang lain. Mari terus jaga dan pertahankan kerukunan antar umat beragama dengan saling bersinergi dalam kebaikan serta bertoleransi dalam perbedaan. Karena Indonesia adalah milik kita bersama, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada diantara kita. Wallahua’lam.***