Lebih Dekat dengan Elang Kusnandar Prijadikusuma.
Karena ketekunannya, meski awalnya mengalami kesulitan dalam pelajaran membaca dan menulis secara dikte, Elang Kusnandar Prijadikusuma akhirnya lulus SD dengan nilai cukup memuaskan. Dan setelah melalui tes tertulis pada saat itu, akhirnya ia pun diterima di SMP 2 Kota Cirebon.
Seperti umumnya anak SMP, Kusnandar kadang melakukan kenakalan remaja, termasuk bermain – main pada saat guru yang mengajar tidak masuk kelas. Suatu hari, karena ia mengira guru pelajaran matematika tidak masuk ia asik bermain dengan beberapa temenya di kelas sebelah yang kebetulan tidak digunakan. Akibatnya, saat kembali ke kelas sang guru marah kepadanya dan ia dihukum beberapa cubitan diperutnya.
“Sakit sih, wong cubitnya sambil diputer plus malu juga karena dicubitnya didepan kelas,”katanya.
Berkat ketekunannya dalam belajar, Kusnandar akhirnya lulus dengan nilai yang sangat baik. Pada saat itu Nilai Ebtanas Murni (NEM) pertama kalinya diterapkan. Ia meraih nilai NEM tertinggi ke 3 di SMP Negeri 2 Cirebon.
Nasib manusia memang tidak bisa diramalkan. Saat kebahagiaan menghampirinya karena mendapatkan NEM yang tinggi pada saat yang bersamaan Kusnandar menerima berita duka. Sang ayah yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga meninggal dunia akibat kecelakaan saat dalam perjalanan untuk urusan dinas.
Padahal saat itu ia telah diterima di SMA Negeri 2, salah satu sekolah favorit pada saat itu. Kusnandar berada pada pilihan yang cukuo sulit karena dengan meninggalnya sang ayah otomatis kondisi keuangan keluaga jatuh.
Sang ibu memberikannya saran kepadanya untuk tidak melanjutkan sekolah mengingat ketiadaan dukungan pembiayaan. Karena selain dirinya, adik – adiknya yang masih kecil membutuhkan biaya. Pilihannya ia tetap bisa melanjutkan sekolah, tetapi tinggal dengan ibu dan adik – adiknya. Terserah mau ikut dengan siapa.
“Jika ingin sekolah silahkan tetapi tidak tinggal dengan ibu karene ibu tidak ada uang untuk biaya sekolahmu,”kata Kusnandar, menirukan pilihan yang diberikan ibunya.
Menghadapi pilihan yang sangat sulit itu Kusnandar memilih tinggal dengan salah seorang kerabat ayahnya, seorang pensiunan di daerah Plumbon. Meski awalnya ditolak kerabatnya dengan alasan mereka juga telah pensiun, namun suami kerabatnya malah mempertahankannya Kusnandar.
Kesulitan keluarga Kusnandar tidak hanya disebabkan karena meninggalnya sang ayah, tetapi juga akibat warisan bisnis yang ditinggalkan ayahnya. Saat masih hidup, ayahnya pernah berbisnis tambak dengan rekan – rekannya namun sang ayah malah tertipu, Bisnis yang ia bangun tidak saja merugi tetapi juga telah membuat bangkrut keluarga. Hingga rumah yang mereka tempati terpaksa dijual guna menutupi kebangkrutan dan ibu serta adik – adiknya terpaksa tinggal mengontrak berpindah – pindah.
Kejatuhan keluarga tidak membuat Kusnandar berputus asa untuk meraih impian dan terus bersekolah. Dengan biaya seadanya ia memutuskan tetap bersekolah di SMAN 2 cirebon. “Apapun yang terjadi saya harus tetap bersekolah,”tandasnya.
Kegigihannya untuk tetap melanjutkan sekolah tidak sia – sia, Kusnandar mendapatkan nilai yang baik di tiap semester hingga pada penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) ia diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun karena alasan ketiadaan biaya ia tidak mengambil kesempatan masuk IPB tanpa tes melalui PMDK itu.
Meski keputusannya itu mendapat tentangan dari keluarganya, Namun ia tetap bergeming dengan alasan tidak ingin menyusahkan ibu dan saudara – saudaranya yang lain.
Kusnandar lebih tertarik untuk mengikuti pendidikan yang menjanjikan ikatan dinas seperti Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). (Bersambung)
Harian Fajar Cirebon, 29 Mei 2012