Pengusaha yang mengelola negara akan menganggap semua sumber daya adalah barang dagangan. Dijual ke luar untuk mencari laba demi membagi keuntungan untuk “pemilik modal”. Negara menjadi perusahaan besar yang tujuannya hanya satu: profit.
Riset Marepus Corner tahun 2020 mengatakan bahwa 55% anggota DPR adalah pebisnis. Sementara itu, sebanyak 19% merupakan politisi murni, 6% birokrat, 5% bagian dari keluarga elit, dan hanya 4% akademisi. Sisanya, berlatar belakang notaris/pengacara, agamawan, aktivis, profesional, dan purnawirawan TNI/Polri.
Bisa dikatakan bahwa Negara saat ini dikelola oleh para pebisnis. Hal ini tidak mengagetkan sebab biaya politik yang tinggi menjadi saringan yang membuat hanya kelas-kelas tertentu yang bisa masuk berkompetisi. Hanya pebisnis yang mempunyai modal dan sumber daya finansial yang dapat berkompetisi dalam iklim demokrasi yang mahal.
Seorang Akademisi misalnya akan kesulitan untuk membiayai kampanye dan memelihara tim sukses sehingga kecil kemungkinan menang dalam kontestasi legislatif. Maka dari itu akademisi intelektual yang terpilih hanya 4% dari jumlah anggota DPR, padahal mengelola Negara butuh banyak ilmu dan gagasan. Apalagi aktivis sosial yang sulit melawan modal finansial hanya dengan modal sosial yang dimiliki.
Saya bukan anti pengusaha. Pengusaha diperlukan untuk memajukan ekonomi suatu negara. Jumlah pengusaha berkolerasi dengan kemajuan suatu negara. Singapura misalnya, Jumlah pengusahanya 8,76% merupakan negara Maju sedangkan Indonesia masih 3% menurut BPS (2020). Tentu pengusaha yang bisa memajukan Negara adalah pengusaha yang kreatif dan inovatif menambah nilai pada barang dan jasa, bukan pengusaha pemburu rente dan markup proyek pemerintah.
Menjadi masalah apabila Pengusaha mendominasi pemerintahan. Perlu berbagai perspektif dalam mengelola Negara. Maka dari itu perlu latar belakang yang beragam di pemerintahan sebab amat kompleks dalam pengelolaannya. Pengusaha yang menjadi mayoritas dalam pengelolaan Negara dikhawatirkan (sebagain sudah terjadi) Negara berorientasi pada profit dan ekonomi sehingga mengabaikan aspek lain seperti ekologi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan dan aspek esensial lainnya.
Perlu keseimbangan di Lembaga Negara baik itu eksekutif dan legislatif. Mengelola negara lebih mirip mengelola lembaga sosial atau social entreprise dibandingkan dengan PT. Social Entreprise bertujuan benefit atau manfaat kepada masyarakat sedangkan PT bertujuan profit.
Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak aktivis sosial dan akademisi yang masuk mengelola negara. Namun tentu itu tidak akan mudah melihat iklim demokrasi kita hari ini penuh dengan politik uang. Maka PR kita yang paling besar hari ini bukan hanya memenangkan Partai atau jagoan kita, namun memperbaiki kompetisi dari pertarungan uang dengan uang menjadi perkelahian antar gagasan. Mengedukasi pemilih juga kontestan. Agar para aktivis sosial dan akademisi itu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Inilah salah satu makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita memimpikan perdebatan di DPR sana nanti bukan lagi persaingan relasi dan koneksi, tapi adu gagasan dan ide untuk kemajuan Bangsa dan Negara. Bukan lagi obrolan rente dan proyek mana yang bisa digarap, tetapi manfaat apa lagi yang akan didapatkan Masyarakat.