Pertanyaan balik yang dilontarkan pengasuh rubrik tersebut mengajarkan kepada kita semua untuk melihat, menilai dan mencermati suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Melihat dan menilai suatu masalah dari berbagai sisi, tentu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dari satu sisi. Demikian halnya ketika kita melihatnya dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu tentu akan menghasilkan penilaian yang berbeda dibandingkan bila kita melihatnya hanya dengan satu disiplin ilmu saja. Karenanya untuk bisa memahami perkembangan dan kebijakan dakwah pada era jahriyah jamahiriyah, dan agar mampu mengelola dakwah yang telah memasuki mihwar muassasi ini, memerlukan kedalaman ilmu dan peningkatan kapasitas keilmuan. Karena keterbatasan kapasitas keilmuan atau ketidak-mampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang hanya akan membuat kita terkungkung dengan asumsi-asumsi atau kesimpulan yang menyesatkan.
Ketika ada berita bahwa Tim Pemenangan Pilkada salah satu daerah melakukan kerjasama dengan seorang non muslim, ada seorang kader yang sangat gelisah dan menulis protes keras di sebuah majalah dengan mengatakan:
“Tak satu pun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menerima bantuan dari kaum kafir. Bahkan ketika seorang musyrik menawarkan diri untuk ikut dalam sebuah jihad, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengujinya, apakah Anda beriman kepada Allah? Nabi spontan menolaknya dengan mengatakan, “Aku tak akan pernah meminta bantuan kepada musyrik.” Kenapa sensitivitas terhadap halal dan haram ini terus melemah?”.
Menyimpulkan bahwa tidak ada satupun sumber yang menyebutkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima bantuan dari kaum kafir adalah kesimpulan yang sangat naif. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal-hal berikut?
Bersama Abu Bakar, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta bantuan seorang musyrik dari Bani Ad Diil untuk menjadi penunjuk jalan saat mereka hijrah menuju Madinah dan orang itu pun memberikan dua kuda tunggangannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar. (Lihat: Shahih Bukhori, Jilid 8, hal 280-282)
Pada peristiwa Hudaibiyah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan seorang kafir dari Khuza’ah untuk memata-matai apa yang dilakukan orang-orang Quraisy. (Lihat: Zadul Ma’ad, jilid 2, hal. 127)
Pada saat perang Hunain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan tenaga salah satu tokoh kafir Quraisy yang bernama Shofwan bin Umayyah dan meminjam sejumlah baju perang (bantuan harta) kepadanya. (Lihat: Nashbu Royah, jilid 3, hal. 377 dan Zadul Ma’ad, jilid 2, hal. 190)
Terlepas dari adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat oleh sebagian ulama sehingga diperbolehkan menerima atau meminta bantuan kepada orang non muslim, yang jelas masih banyak lagi dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan meminta bantuan kepada orang kafir dan bertentangan dengan kesimpulan saudara kita diatas.
Oleh karenanya hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta bantuan kepada orang musyrik tidak bisa dilihat dari sisi tekstualnya saja, tapi harus dilihat juga dari konstektualnya atau asbabul wurudnya. Dalam riwayat Imam Al Hakim disebutkan bahwa orang musyrik tersebut adalah bagian dari pasukan kaum Yahudi Bani Qoinuqa’ yang menjadi sahabat tokoh munafik Abdullah bin Ubay sehingga sangat mungkin penolakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut disebabkan adanya kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan dan mereka berbalik menyerang kaum muslimin. (Lihat: Syarhu as Sair al Kabir, jilid 4, hal. 1423).
Untuk dapat memahami perkembangan dakwah dan problematikannya saat ini, menuntut adanya kredibilitas keilmuan. Kredibilitas tersebut tidak cukup hanya mengandalkan keilmuan yang bersumber dari literatur saja, tetapi juga keilmuan yang didapat dari interaksi langsung dengan realita dakwah, keilmuan yang berasal dari interaksi langsung dengan dinamika kehidupan.
Seorang kader yang berkiprah langsung dalam dunia dakwah siyasiyah akan sangat memahami betapa sangat strategisnya kekuatan politik untuk melakukan perubahan dalam masyarakat dan karenanya harus terlibat dalam proses politik meskipun keterlibatan tersebut baru sebagai sarana belajar, tentunya dengan kesadaran penuh akan kemungkinan adanya dampak negatif yang mungkin mempengaruhi perilaku dan kepribadian seorang kader yang berinteraksi dengan dunia yang bergetah itu.
Sebaliknya, bagi kader yang melihat dunia dakwah siyasiyah dari kejauhan, akan cenderung menyoroti sisi kemubadziran proses poilitik yang memerlukan biaya mahal, cenderung hanya melihat dari sisi dampak negatif yang mungkin timbul, dan karenanya mengajak kita meninggalkan dunia politik, cenderung mengikuti pikiran pribadinya dan menyeru agar kita tidak memaksakan diri terlibat dalam dunia pemilu atau pilkada, meskipun kebijakan tersebut diambil melalui proses syuro yang panjang. Ketika menyampaikan seruan tersebut mungkin tidak lagi mau menimbang-nimbang madhorot yang timbul bila orang-orang shalih ini tidak mau memasuki dunia abu-abu tersebut. Maka, agar kita mampu menimbang masalah ini dengan timbangan yang benar, penting bagi kita untuk menyimak hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berikut, “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan (dampak negatif) mereka, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka”. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah).
Bila ada kader yang gelisah dan bingung dalam memahami perkembangan dakwah dan sepak terjang aktivisnya, gelisah karena ijtihad, qiyas dan maslahat dijadikan dasar dalam mengambil sikap atau kebijakan dakwah dan mengatakan: “Terkadang untuk menjustifikasi tindakan-tindakan itu, digunakanlah kaidah-kaidah fiqh secara berani dan tidak proporsional…. Sementara di zaman sekarang, anak-anak muda menjawab dengan berani terhadap masalah apa saja yang diajukan kepada mereka dengan dalih ijtihad dan maslahat”, ternyata kegelisahan dan kebingungan yang diungkapkan dengan kata-kata yang sama telah dinukil oleh Muhammad Ahmad Ar Rosyid dalam bukunya “Manhajiyatul Ifta’ wal Ijtihad”. Namun beliau menepis kebingungan tersebut setelah menemukan ungkapan Imam Ali Bin Abi Tholib,
( كلُّ قَوْمٍ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَصْلَحَةٍ مِنْ أَنْفُسِهِمْ : يُزْرُونَ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ ، ويُعرَفُ الْحَقُّ بِالْمُقَايَسَةِ عِنْدَ ذَوِي الْأَلْبَابِ )
“Setiap kaum, merekalah yang paling mengetahui urusan mereka dan paling memahami apa yang bisa memberikan maslahah kepada diri mereka, mereka berhak mencibir orang lain yang tidak memahami mereka, kebenaran dapat diketahui dengan qiyas bagi mereka yang memiliki akal” (Lihat: I’lamul Muwaqqi’in, 1/203)
Ali bin Abi Thalib telah menjelaskan dengan gamblang bahwa menggunakan qiyas dan maslahat dalam mengambil kebijakan politik, kebijakan dakwah dan muamalah merupakan manhaj yang benar. Hal ini akan menghilangkan keraguan dalam berijtihad dan bahkan mendorong untuk berani berijtihad, tentunya dalam masalah-masalah fiqh dakwah, politik dan muamalah.
Dari pemaparan masalah diatas ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi,
Pentingnya meningkatkan kredibilitas dan kapasitas keilmuan untuk bisa memahami, menyikapi bahkan mengelola dakwah di mihwar muassasi. Peningkatan kredibilitas dan kapasitas keilmuan bukan hanya dengan menguasai ilmu alat yang didapat dari belajar dan membaca buku, tetapi juga dengan berinteraksi langsung dengan realita kehidupan sehingga kita dapat memahami dan menyikapi suatu fenomena atau problema dakwah dengan benar, dapat mengelola kerja-kerja dakwah ini dengan produktifitas yang tinggi.
Kredibilitas keilmuan menuntut adanya kredibilitas dan integritas personal. Kredibilitas dan integritas personal inilah yang akan menghadirkan keikhlasan dalam berbicara dan bertindak, dalam mengkritik dan menilai, mendorong kita menjadi orang yang adil dan obyektif meskipun terhadap diri sendiri, memacu kita untuk dapat memberikan kontribusi riil yang sebesar-besarnya demi perbaikan dan pengembangan dakwah ini dan bukan sekedar berbicara, menilai dan mengkritik. Kalaulah harus menilai dan mengkritik, kita tahu kapan, dimana dan bagaimana cara mengkritik yang benar. Apalagi bila yang dikritik itu adalah sebuah kebijakan yang dihasilkan melalui syuro. Bagaimanapun hasil syuro itu lebih baik dan lebih berkah dari pada pendapat dan pikiran pribadi.
Kredibilitas keilmuan menuntut kita senantiasa memiliki pandangan positif terhadap perbedaan dan keragaman (sunnatu tanawwu’), apapun perbedaan dan keragaman tersebut. Dengan adanya sunnatu tanawwu’ kehidupan ini akan semakin dinamis. Kekurangan yang terjadi pada suadara kita berarti peluang ibadah. Allah memberi peluang kita untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Kekritisan saudara kita akan menjadikan kehidupan ini menjadi seimbang. Hanya saja kekritisan tersebut tidak boleh menjadi faktor yang mempengaruhi soliditas kehidupan berjama’ah ini, atau bahkan menjadi pintu masuknya pihak-pihak yang ingin memporak-porandakan keutuhan shaf kita.
Wallahu a’lam..
Sumber: Seri Taujihat Pekanan Kader PKS