JOMBANG (21/12) — Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Dr Salim Segaf Al-Jufri menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk “Silang Pendapat Makna Radikalisme” yang digelar di Pesantren Tebuireng Jombang oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng. Acara ini diadakan untuk memperingati 10 tahun wafatnya Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dalam seminar tersebut, tampil pembicara kunci Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ir. Hamli, ME, serta memberi sambutan DR KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), Pengasuh Pesantren Tebuireng.
Seminar juga menghadirkan pembicara KH Afifuddin Muhajir (Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo), Prof Masdar Hilmy, MA, PhD (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya), Prof Syafiq Mughni, MA, PhD (Pimpinan Pusat Muhammadiyah), dan Dr Fathur Rohman (Dosen Unviersitas Hasyim Asy’ari).
Gus Sholah menyampaikan bahwa seminar dilaksanakan dalam rangka Haul ke-10 Gus Dur, juga memperingati 35 tahun NU menerima Pancasila.
Gus Sholah mengungkapkan silang pendapat istilah radikal dan radikalisme. “Ada kaos bertulis ‘nasionalis radikal’. Ketika ditanya maksud tulisan di situ, dijawab pemakainya ‘nasionalisme yang sungguh-sungguh’. Artinya di situ radikal mengandung pengertian positif. Yang negatif istilah ultranasionalisme atau chauvinisme,” ujar Gus Sholah. “Tetapi dalam istilah Islam Radikal, makna radikal menjadi negatif. Ini kan ada kesimpangsiuran,” lanjut Gus Sholah.
Gus Sholah lalu mengutip beberapa pendapat pakar bahwa, “seseorang atau sekelompok orang yang taat beragama tidak dapat begitu saja dicap pendukung radikalisme hanya karena cara berpakaiannya,” kutip Gus Sholah.
Gus Sholah menyayangkan istilah radikalisme menjadi liar, digunakan untuk melakukan penghakiman pihak lain dan pembersih bagi diri sendiri. Radikalisme juga sering dikelirukan untuk mengatakan tindakan terorisme. Di saat lainnya juga dikelirukan untuk mengatakan tindakan intoleransi, anarkisme, serta penolakan terhadap Pancasila.
Sementara itu Habib Salim dalam paparannya menyampaikan ketidaksetujuan penggunaan istilah radikal bagi hal-hal yang sebetulnya positif. Misalnya adanya SKB 11 instansi pemerintah yang menilai ASN yang kritis sebagai radikal.
“Bagaimana mungkin orang yang menyampaikan kritik konstruktif dituduh radikal. Akhirnya nanti masyarakat gak ada yang ngomong. Bagaimana bangsa dan negara bisa maju jika kritik yang konstruktif dibungkam dengan tuduhan radikal,” kata Habib Salim.
Habib Salim menuturkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan. “Tapi jangan sampai bangsa ini ribut sendiri gak habis-habis. Jangan sampai pihak-pihak lain membuat desain agar kita sesama anak bangsa lupa terhadap tujuan menjadi negeri yang berdaulat, sejahtera, aman, gemah ripah loh jinawi,” tutur Habib Salim
Habib Salim dalam kesempatan ini juga sempat memaparkan beberapa sebab dari kelompok-kelompok yang menegasikan pemerintah dan bahkan orang-orang Islam di luar kelompoknya.
“Orang ini belum memahami kaidah-kaidah bahasa Arab dalam memahami Al-Qur’an, belum memahami Ushul Fiqh, belum secara utuh memahami agama. Di sinilah peran pondok-pondok pesantren sebagai tempat memahami agama secara benar.”
Habib Salim mengungkapkan optimismenya bahwa ke depan umat Islam bisa membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disegani.
“Di abad 12 kita bisa mengusir tentara Mongol yang waktu itu menguasai 2/3 dunia. Ke depan pun kita bisa menjadi bangsa besar, sebab potensi keamanannya tinggi, kekayaan alamnya luar biasa, dengan sumber daya manusia yang hebat,” kata Habib Salim.
Mantan Menteri Sosial ini kemudian mengajak agar mengokohkan persatuan dan mengutamakan persamaan daripada selalu mengusik dengan perbedaan. “Saya yakin kita tidak akan kalah menghadapi tantangan dan gangguan. Mari menyiapkan generasi muda kita dengan menjaga dari pemahaman yang nyeleneh dan mendorongnya bergandengan tangan membangun negara ini menjadi negara yang maju dan diperhitungkan bangsa-bangsa lain,” pungkas Salim Segaf yang saat ini juga menjabat Wakil Ketua Persatuan Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia (IUMS).